Sabtu, 13 September 2014

Antisipasi dan Solusi Terhadap Terjadinya Krisis Integritas Anak Bangsa Indonesia Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional

LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kemajukan mencapai 75 % , antara lain tergambar  luas wilayah 5,8 juta km per segi dan panjang garis pantai 95.181 km yang memiliki 17.504 pulau. Rakyat  yang multikultur berjumlah 251 juta orang terbagi dalam 365 suku bangsa yang memiliki keunikan  dalam bahasa daerah dan  budaya.  Sebagai negara yang berdaulat, NKRI membutuhkan Ketahanan Nasional (Hannas) guna menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan berbagai krisis.  Upaya dasar untuk mewujudkan Hannas yang kokoh tersebut adalah intergritas sebagai jati diri dari setiap anak bangsa. Integritas sebagai jati diri bangsa merupakan kekhasan yang dimiliki suatu bangsa yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia.  Demikian pula dengan kesadaran berbangsa menjadi keharusan dimiliki oleh setiap warganya agar memililki rasa memiliki (sense of belonging) dan sekaligus sebagai daya tangkal terhadap pengaruh negatif dari negara lain atau pihak manapun.  
Banyak yang mengenal dan mengatakan, terutama orang asing, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, rendah hati, kreatif, sabar, hangat dan toleran. Benarkah demikian ? Bila tidak, apa yang membuat bangsa ini berubah? Sebagaimana kita ketahui perilaku adalah hasil interaksi antara pribadi dan lingkungan. Sebagaimana pada interaksi lain, ketika salah satu dari yang berinteraksi buruk, maka tidak mungkin hasilnya akan baik. Begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, lingkungan yang buruk akan menghasilkan perilaku yang sama buruknya atau akan bisa mengubah pribadi yang baik menjadi kurang baik.  Pengaruh lingkungan strategis sebagai dampak perkembangan di lingkungan global, regional dan nasional berdampak pada perubahan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.  Pengaruh tersebut selain memberikan dampak positif banyak pula yang bersifat negatif dan tidak sesuai dengan jati diri (integritas) bangsa kita.  Apakah telah begitu banyaknya individu yang kurang bahkan tidak memiliki integritas di Negeri ini?  Jelas situasi dan kondisi seperti ini tentunya dapat juga berpengaruh kepada kehidupan kita dan keluarga, sehingga jika tidak diantispasi bukan tidak mungkin akan berdampak negatif pula dan meluas di seluruh lapisan masyarakat. 
.
PEMAHAMAN INTEGRITAS
Integritas merupakan dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena menjadi faktor yang mempengaruhi proses pencapaian keberhasilan yang ingin diraih. Integritas selalu mencakup adanya konsistensi atau keteguhan hati yang terkait dengan nilai-nilai moral, prinsip-prinsip dan etika.  Dalam banyak bahasan integritas senantiasa  dikaitkan  dalam perilaku jujur, transparan, adil, bertanggung jawab, berkomitmen, berdisiplin dan menjunjung tinggi harkat manusiawi. Integritas merupakan hal yang sangat mendasar dan sebagai fondasi, tampak seperti ungkapan “Tanpa integritas, motivasi menjadi berbahaya; Tanpa motivasi,  kapasitas menjadi tak berdaya; Tanpa kapasitas, pemahaman menjadi terbatas; Tanpa pemahaman, pengetahuan tidak artinya; Tanpa pengetahuan, pengalaman menjadi tidak bermakna”. Dari ungkapan tersebut jelas bahwa untuk membangun jati diri aspek integritas merupakan fondasi baru selanjutnya aspek motivasi, kapasitas, pemahaman, dimiliki pengetahuan, dan pengalaman.   Oleh karenanya,  integritas yang kuat perlu dimiliki oleh setiap anak bangsa.
1. Fondasi Dasar.   Integritas dapat ditampilkan bila terdapat moral compass (sekumpulan nilai dan prinsip yang dianut) dan  inner drives yang merupakan dorongan untuk hidup sesuai dengan nilai dan prinsip tersebut. Keseimbangan dua aspek ini perlu terjaga, karena jika inner drives yang lebih besar seringkali membuat seseorang bertindak egois dan tidak sesuai dengan integritasnya.  Bagi setiap anak bangsa, wawasan kebangsaan, etika ketimuran, kearifan lokal dan nilai-nilai lainnya merupakan moral compass yang mengatur bagaimana seharusnya mereka bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Keaslian.  Integritas juga dipandang sebagai suatu keaslian. Seseorang yang bertindak asli seperti apa dirinya yang sebenarnya. Bukan tingkah laku dibuat-buat yang  tidak mencerminkan jati dirinya. Menjadi diri sendiri dan bangga dengan kemampuan serta menerima kekurangannya telah bersatu dalam suatu bentuk integritas.  Jika seseorang mau memiliki Integritas, maka ia terlebih dahulu harus memenuhi kebutuhan akan harga dirinya. Bukan menggunakan persepsi orang lain dan mengelabuinya agar merasa diri berharga karena ingin dinilai berhasil, namun dirinya sendirilah yang menjadi  hakim yang menentukannya. Bagaimana agar seseorang  bisa menjadi lebih baik dan menemukan integritasnya? Hal  pertama yang harus dilakukannya adalah menyadari dan menerima kekurangannya serta menyatakannya dengan “lantang”.   Kejujuran di awal ini akan membuatnya lebih bisa dan terbiasa untuk bersikap jujur secara konsisten, sehingga kata-katanya akan senantiasa sesuai dengan tindakannya (satu kata dengan perbuatan).
3. Fungsi Integritas  Pertanyaan berikutnya adalah apa fungsi integritas? Terdapat dua kategori fungsi integritas, seperti  Cognitive Function of Integrity (CFI), yang meliputi  moral Intelligence (kecerdasan moral) dan self-knowledge (pengetahuan mengenai apa yang benar dan apa yang salah).  Seseorang yang memiliki CFI baik akan dapat mengintrospeksi dirinya. Tanpa pengenalan diri yang baik, tentunya akan sulit untuk menilai diri sendiri.   Selain CFI  juga terdapat fungsi yang lain, yaitu Affective Function (AF). Dalam AF terdapat dua kategori, yaitu Conscience dan Self Regard. Consicence dapat diartikan sebagai hati nurani yang berfungsi sebagai “hakim” apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan perilaku integritas. Conscience tidak hanya berfungsi sebagai hakim yang menghakimi perilaku yang telah terjadi, namun juga pada perilaku-perilaku yang belum dilakukan.   Sedangkan Self-Regard adalah perasaan positif tentang apa yang dimiliki dan tidak dimiliki. Seorang prajurit yang merasa dirinya negatif akan melebih-lebihkan dirinya sendiri atau membuat banyak alasan agar dianggap tetap wajar, meskipun sebenarnya tidak menyelesaikan kewajibannya.
4. Kompetensi Integritas.   Berikut tentang kompetensi yang dapat membentuk Integritas jati diri anak  bangsa.
a.   Motivasi diri.  Suatu dorongan dari dalam diri dan energi untuk menetapkan suatu tujuan serta bekerja keras untuk mencapainya, dalam rangka memenuhi komitmen dan untuk memelihara atau bahkan melebihi standar kinerja (melebihi dari panggilan tugasnya).
b.   Keberanian dan ketegasan moral.  Keberanian untuk bertindak dan membela apa diyakininya dan untuk menunjukkan prinsip serta nilai-nilai dirinya kepada lingkungan sosialnya, termasuk keberanian merefleksikan dirinya untuk menerima umpan balik.
c.   Kejujuran.  Kejujuran pada diri sendiri maupun terhadap orang lain mengenai niat  dan kapasitas yang dimilikinya, misalnya dengan mengatakan apa yang sebenarnya, dimanifestasikan secara transaparan melalui komunikasi terbuka dan berbagi informasi secara proaktif.
d.   Konsistensi.  Konsisten dalam mengaplikasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam kehidupannya di semua situasi, baik pada kehidupan pekerjaan maupun  pribadi.
e.   Komitmen.  Ketekunan untuk mencapai apa yang telah menjadi komitmen sebagai prajurit untuk dilaksanakan sebagai tugas, tanggung jawab dan kewajibannya. Apakah itu bersifat publik (berkomitmen kepada orang lain/organisasi) atau komitmen pribadi (berkomitmen untuk diri sendiri), meskipun menghadapi keadaan sulit dan menantang.
f.    Ketekunan.  Diekspresikan dalam bentuk sikap rajin bekerja dan ketekunan dalam berupaya yang telah merupakan karakternya.
g.   Disiplin diri.  Disiplin untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip serta untuk mencapai apa yang telah ditetapkan untuk dilakukan.  Disiplin berfungsi sebagai kendali batas-batas moral seseorang, dalam aturan  dan prinsip-prinsip yang telah disepakati, serta berkomitmen kepada diri sendirinya maupun orang lain.
h.   Tanggung jawab.  Menerima tanggung jawab untuk suatu tujuan dan aspirasi sesuai  kekuatan dan keterbatasan yang dimilikinya, dan merupakan pilihan yang memiliki konsekuesnsi terhadap suatu sanksi tertentu.
i.     Kepercayaan.  Ditampilkan dalam bentuk reputasi untuk memegang teguh janji, komitmen dan tanggung jawab, sehingga orang lain dapat mempercayainya sebagai seorang prahurit yang melakukan apa yang dikatakannya.
j.     Keadilan.  Keadilan, pemerataan dan tidak ada bias dalam pengambilan keputusan, terutama dalam pengambilan keputusan yang melibatkan dan berdampak pada orang lain/anggota.

PENGARUH LINGKUNGAN
Perkembangan di lingkungan global, regional dan nasional berdampak pada perubahan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Selain memberikan dampak positif banyak pula yang bersifat negatif yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita.   Dari sisi perdagangan, banyak sekali barang-barang yang diimpot ke Negeri ini, bahkan sekaligus juga mengimport budaya asing yang seringkali tidak sesuai dengan budaya bangsa, contoh budaya Amerika dan Korea. Konsep integritas anak bangsa yang ada pada saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh budaya universal dibandingkan dari dalam budaya Indonesia itu sendiri.  Hal itu, menyebabkan implementasi integritas di Indonesia seringkali menemui kendala karena benturan dengan budaya Indonesia.   Begitu banyak remaja dan anak-anak,  bahkan mungkin orang dewasa dan tua yang mengadopsi nilai dan gaya hidup dari negara-negara tersebut.  Seperti apa yang kita amati dan rasakan, belakangan ini nilai hedonisme berkembang semakin pesat yang memberikan ukuran kesenangan (pleasure principles) sebagai segala-galanya, dan memicu terbentuknya nilai-nilai materialistis. Hal ini juga diperkuat oleh provokasi berbagai media masa yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. 
Pada saat ini  banyak orang yang lebih mementingkan diri sendiri (ego sektoral) dibandingkan dengan kepentingan umum yang lebih besar. Nilai yang dianut adalah kekayaan dan kekuasaan adalah segala-galanya.  Terjadi peningkatan sifat egoisme yang sangat tinggi pada banyak orang, yaitu kepentingan diri melebihi kepentingan apapun. Dalam teori A Maslow. Kebutuhan seperti ini merupakan kebutuhan tingkat dasar (Basic Need). Ironisnya hal ini terjadi pada masyarakat luas, dan bahkan banyak diantara mereka  yang mempunyai posisi jabatan yang tinggi dan orang-orang yang memiliki kekayaan berlimpah.  Jika mindset  seperti ini ada pada diri seseorang tentunya akan memberikan pengaruh negatif pada dirinya.  Di dalam organisasi, ia akan merusak, di jalan raya ugal-ugalan dan menyebabkan kesemrawutan, saat melakukan  berdemonstrasi akan anarkis, dll. Tidak ada lagi ada perasaan malu dan tampak memiliki potensi emosi yang bersifat negatif dan sangat gampang “meledak”. 
Beberapa sumber pengaruh negatif “SERANGAN”  6 mungkin juga merupakan perang psikologi dari pihak-pihak berkepentingan yang patut diwaspadai adalah sebagai berikut :

F 1 – FOOD.  Wisata kuliner sangat berkembang khususnya di kota-kota besar, seperti jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Seiring dengan itu juga berkembanganya tawaran makanan ala “barat”, dan nyaris outlet-outlet  ala barat tersebut padat dengan berkunjung.  Masyarakat  sangat menggemari fast food, yang di negaranya sendiri disebut sebagai junk food (baca: makanan sampah)   Sampah koq dimakan dan digemari yaa? Penawaran makanan dan menu ini sarat dengan nuansa bisnis semata, dan kurang memperhatikan aspek kalori dan kesehatan.  Akhirnya  kita terjebak dan tergantung pada makanan yang kurang, bahkan dapat dikatakan tidak berkualitas.  Sementara itu bukankah kebutuhan hidup sehat mempersyaratkan makanan yang sehat. Belum lagi jika melihat dari segi nilai-nilai yang lebih mendalam, bagaimana jadinya jika kita sudah tidak menggemari makanan khas daerah dari negeri sendiri.
F 2 – FASHION.   Baju tradisional sudah banyak ditinggalkan, bahkan anak dan remaja kita banyak yang tidak mengenali lagi pakaian-pakaian khas daerah.  Kembali lagi pakaian dari budaya luar yang sangat populer dan digemari.  Alasan pembernarannya, modis, lebih simpel dan praktis.  Untuk penganut agama Islam yang terbesar di negeri ini, banyak telah melanggar kaidah-kaidah norma berbusana jelas, khusunya untuk pakaian wanita karena banyak disobek disana-sini, sementara bagian bawah semakin ke atas dan bagian atas semakin ke bawah.  Banyak dari masyarakat yang lebih menyenangi produk pakaian bergaya luar dibandingkan dengan khas Indonesia, tersirat di dalamnya emosi positif pada produk luar dan emosi negatif pada produk dalam negeri.
F 3 – FUN.  Sesuatu yang bersifat lucu atau hiburan bersumber pada kreativitas yang merupakan hal yang tidak biasa. Apa sebenarnya yang ditawarkan? Dalam lawak yang berkembang sering kita melihat pria yang meniru gaya kewanitaan, dari perlaku maupun kostum yang digunakan.  Bahkan dalam persepsi tertentu sudah ada yang bernuansa pelecehan.  Belum lagi kelakar yang disampaikan terkadang sangat furgar, dan kita menjadi tertawa saat menyaksikannya (baca : menyetujui).  Seorang individu memulai pembelajaran dari meniru, sehingga panutan dan keteladanan sangat diperlukan. Jika panutan dan keteladanan yang tidak baik, maka hasil tersebut juga yang menjadi nilai dirinya.
F 4 – FILM.  Kalimat yang sering saya ucapkan saat memberikan pelatihan adalah “hampir pada setiap film Amerika kita melihat bendera Amerika, sementara itu hampir pada setiap Film lokal kita senantiasa melihat pocong, hantu, kuntianak dan kawan-kawannya”.  Pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan?  Belum lagi tontonan yang mengarah pada seksualitas dan agresifitas.  Alasan pembenaran yang sering kita dengan adalah mengikuti “tuntutan skenario” ataupun keinginan pasar.  Film maupun tontonan di telivisi juga dapat meng”hipnotis” masyarakat untuk selalu menonton, dan sekaligus menyerap nilai-nilai yang disampaikan dan memasukannya ke alam bawah sadar sekaligus mempengaruhi kondisi psikologinya.
F 5 -  FANTASI.  Dunia fantasipun sudah lama ada di negeri ini.  Setiap warga masyarakat akan merasa “tertinggal” kalau belum pernah mencoba segala macam permainan yang ditawarkan dengan harga yang tidak murah.  Pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas dengan hal yang bersifat seperti ini, sehingga kreativitas mengembangkan tantangan barupun dibuat. Pada tempat lain tawaran fantasi dengan permainan keberuntungan (gambling)  yang dapat memperoleh hadiah menggiurkan, sehingga masyarakat diajak untuk berfantasi  menjadi kaya secara instan.  Masyarakat dapat menjadi hanyut dalam nilai-nilai hedonisme, dan ingin dapat memperoleh keuntungan dengan cara-cara instan.

F 6 -  FILOSOFI.   5 F terdahulu secara bertahap dan berlanjut, lambat tetapi pasti mulai menggrogoti nilai-nilai dan jati diri anak bangsa.  Akhir-akhir ini mulai banyak sekali pembahasan tentang Pancasila. Upaya tersebut tentunya perlu diarahkan kepada penyebab utamanya yang sehari-hari selama bertahun-tahun menanamkan doktrin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.  jika nilai dan jati diri (integritas) anak bangsa sudah keropos tentunya tinggal menunggu kehancurannya saja.
Tentunya masih banyak “F” lainnya, namun dengan 6 F tersebut saja sudah membuat keprihatinan yang mendalam, karena jelas-jelas memberikan nilai yang dapat merubah sikap dan prilaku kearah hal-hal yang bersifat negatif.  Pertanyaannya adalah bagaimana dengan integritas anak bangsa negeri saat ini dan bagaimana upaya yang perlu dilakukan.
PEMBINAAN INTEGRITAS DI LINGKUGAN TNI ANGKATAN DARAT
Berikut sekilas tentang pembinaan integitas di lingkungan TNI AD yang dapat dijadikan sebagai pembanding dalam mencari opsi solusi pembinaan integritas.  Dalam suatu diskusi ilmiah di Dispsiad bersama dengan narasumber DR.Wisnubrata & Prof Frans Mardi (2007) dirumuskan tentang integritas prajurit yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Bukan sekedar mampu menjalankan perintah, tetapi mampu memahami makna dari perintah itu (Kompetensi motivasi diri, tanggung jawab, dan kepercayaan).
2. Bukan sekedar menguasai ilmu dan teknik kemiliteran, tetapi juga mampu menggunakannya dengan arif dan penuh kepedulian (Kompetensi keadilan, tanggung jawab, keberanian dan ketegasan moral).
3. Bukan sekedar mampu menjadi anggota militer yang profesional, tetapi juga mau bersiap diri untuk hidup dan bekerja di lingkungan masyarakat sipil (Kompetesi konsistensi dan komitmen).
4. Bukan hanya terampil secara fisik, tetapi juga mampu bertindak dengan cerdas dan arif. ( Kompetensi kejujuran dan  keadilan).
5. Bukan hanya memiliki semangat kor yang kuat, tetapi juga menyadari bahwa dirinya juga warga masyarakat luas yang biasa (Kompetensi komitmen, tanggung jawab, dan kepercayaan).
6. Melihat senjata bukan hanya sebagai alat pemusnah belaka, tetapi juga memandangnya sebagai cerminan rasa tanggung jawab yang besar (Kompetensi  tanggung jawab dan disiplin diri). 
7. Bukan melihat dirinya sebagai bagian dari sekelompok orang yang memiliki hak-hak istimewa, tetapi justru merasa dirinya sebagai warga masyarakat biasa dengan tanggung jawab istimewa (Kompetensi ketekunan, keadilan, tanggung jawab, keberanian dan ketegasan moral).
Apakah karakteristik ini telah mencakup dan meliputi seluruh kompetensi integritas yang meliputi kompetensi integritas ? Jika kita mencoba mengkorelasikannya, maka sangat jelas bahwa karakteristi tersebut meliputi kompetensi integritas sebagai jati diri prajurit.  Selanjutnya, setelah karakteristik ini dapat diterima dan disepakati, maka tujuan dan arah pendidikan untuk pengembangan akan semakin jelas, yaitu selain membekali dengan kompetensi teknis dan institusional, juga menanamkan nilai-nilai dan prinsip sesuai karakteristik tersebut sebagai moral compass.  Untuk itu diperlukan upaya terpadu dan bersifat holistik yang dimulai penyiapan, pengembangan, pemeliharaan dan perawatan integritas diri prajurit. 
Dalam penyiapan calon prajurit telah dapat dirumuskan kriteria yang jelas tentang kompetensi integritas minimal yang harus dimiliki.   Diyakini bahwa pembentukan integritas perlu dilakukan sejak dini, bahkan ada yang mengatakan sejak di dalam kandungan.  Pembentukan karakter pertama kali dialami oleh seseorang, yaitu saat pengasuhan awal dalam keluarga, jadi role model pertama dalam pembentukan integritas adalah para orangtua dan dilanjutkan melalui proses pendidikan-pendidikan formal dan informal.  
Penyiapan calon prajurit dilakukan melalu proses rekrutmen yang cukup panjang. Dalam seleksi yang dilaksanakan secara kholistik dengan melibatkan multi disiplin ilmu, yaitu : Aspek Mental Ideologi, Akademis, Kesehatan, Kebugaran Jasmani, dan psikologi.  Pendalaman mental ideologi memiliki kemiripan dan psikologi, yaitu mengelaborasi latar belakang keluarga dan kehidupan calon karena hal ini dianggap sangat penting untuk mengantisipasi apakah seorang calon masih berpeluang untuk dikembangkan menjadi prajurit yang handal.  Sedangan pendekatan psikologi dilakukan melalui pemeriksaan psikologi (paper & pencil test), psikologi lapangan, wawancara dan observasi untuk memprediksi sebesar apa peluang pengembangan yang dapat dilakukan dari calon tersebut.  Kedua pendekatan ini paling tidak saling melengkapi untuk memahami kondisi mental psikologi calon termasuk juga keterkaitannya dengan aspek spiritual dan budaya.  Secara umum rumusan calon yang memiliki peluang sebagai pemenang, yaitu Taughness (kekokohan) dalam menghadapi berbagai permasalahan, Resilience (ketahanan) untuk segera bangkit kembali setelah mengalami sesuatu kegagalan, dan Flexibility (fleksibilitas) menggunakan berbagai cara dalam mengatasi suatu permasalahan.  Adapun ciri-ciri yang ditampilkan dalam bentuk prilaku seperti sejauhmana mereka telah berupaya semaksimal mungkin berkontribusi secara positif di lingkungannya, kemampuan mengelola emosi secara efektif, konsistensi dalam berbuat sesuatu kebaikan.
Keputusan lulus dan lolos dalam seleksi merupakan kesepakatan dari berbagai disiplin ilmu tersebut dalam suatu sidang Pantuhir (Panitia Penentu Akhir) sesuai kriteria yang berlaku.  Dalam hal ini keseimbang seorang individu merupakan persyaratan yang sangat mendukung dalam proses pembinaan selanjutnya. Selesai proses seleksi ini dan para calon prajurit yang dinyatakan memenuhi persyaratan, maka akan mengikuti pendidikan pembentukan militer dasar yang keras dalam rangka pengembangan dari potensi dan kompetensi yang telah dimiliki sebelumnya. Ada suatu premis yang menarik mengatakan bahwa “orang menjadi baik itu harus dipaksa, munculnya kepatuhan harus dipaksa dengan dibentuknya sistem yang baik.”  Oleh karena itu, untuk menghasilkan manusia berintegritas sistem dan lingkunganpun perlu diberikan perhatian khusus.  Bagaimana lembaga pendidikan mengembangkannya? Perlu menanamkan doktrin secara tepat karena akan menjadi moral compass bagi calon prajurit yang bersangkutan. Prinsip tripola dasar dalam pendidikan merupakan pendekatan keseimbangan yang serasi, namun perlu disepakati tujuan yang ingin dicapai terkait dengan integritas (jati diri) prajurit.  Gadik (Tenaga Pendidik) dan Gapendik (tenaga Pendukung Pendidikan) memiliki andil yang besar, sehingga perlu memahami tujuan pembentukan prajurit. 
Pada saat seseorang telah meliwati masa pembentukan sebagai prajurit dan dinyatakan lulus, maka upaya pengembangan integritas tentunya tidak boleh terhenti. Tahapan selanjutnya merupakan tahapan pemeliharaan dan perawatan. Di satuan, bagaimana upaya Pimpinan mengembangkannya ? Menjadi model, dan juga dapat memberikan bimbingan serta konseling. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut setiap pimpinan perlu memahami bahwa sesungguhnya setiap manusia akan bertindak sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. 
Secara bertahap, bertingkat dan berlanjut, unsur  pimpinan senantiasa memelihara dan  merawat pengembangan integritas prajuritnya. Antara lain dilakukan melalui inspirasi (jam komandan/pimpinan) dan memotivasi prajuritnya agar tergugah selalu memelihara dan mengembangkan integritasnya.  Di Satuan, senantiasa dilakukan upaya untuk memfasilitasi seperti apa yang telah didapatkan setiap prajurit dalam lembaga pendidikan.  Setiap prajurit diingatkan dan dikendalikan agar tetap waspada dalam memilih dan memilah konsumsi bagi mata dan telinganya. Artinya perlu selektif terhadap apa yang dilihat, dibaca dan ditonton, juga selektif dalam mendengar, karena semua ini dapat menstimulasi mereka dalam bersikap dan berprilaku
Kondisi psikologi yang prima, termasuk integritas akan mendukung tertanam dan berkembangnya nilai-nilai luhur pada setiap diri prajurit.   Pendekatan psikologi dimulai dari menyiapkan, mengembangkan, dan memelihara serta merawat (SIAPBANGHARWAT) kondisi integritas prajurit pada hakekatnya bukan menjadi hanya menjadi tanggung jawab satu institusi yang terkait langsung, seperti Dispsiad.  Namun terdapat institusi/pihak lain yang memiliki keterkaitan, seperti  kesehatan  jasmani, dan bidang personel, bahkan setiap unsur pimpinan (Perwira) juga memperhatikan baik keseimbangan dirinya maupun prajuritnya. Dikatakan demikian karena kondisi psikologi, termasuk integritas merupakan muara dari berbagai kondisi lainnya, seperti kondisi kesehatan, jasmani,  spiritual, dan kesejahteraan mereka.

PENUTUP
Setiap anak bangsa perlu memiliki integritas yang kokoh agar dapat menampilkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tatanan aturan dan hukum serta etika yang berlaku.  Tanpa integritas yang kokoh akan menstimulasi individu berupaya untuk berada pada comfort zone (zona nyaman) dan mempertahankannya dengan segala macam cara.  Mereka tidak siap menghadapi pengaruh dari tantangan, kendala dan permasalahan, serta menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terus terjadi.   Selanjutnya bagaimana integritas dapat dikembangkan untuk mdndukung Ketahanan Nasional ?  Diperlukan upaya paripurna dari segenap komponen bangsa dan muslti disiplin ilmu untuk pertama menyepakati konsep integritas sebagai jati diri anak bangsa, dan selanjutnya upaya pembinaan yang dilakukan dimulai dari penyiapan, pengembangan, pemeliharaan dan perawatan.
Demikian tulisan “Antisipasi dan Solusi Terhadap Terjadinya Krisis Integritas Anak Bangsa  Indonesia Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional”  disusun sebagai upaya dan tanggung jawab moral guna mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kepustakaan
1           Al-Mishi Mahmud (2009), “Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW”
2           Barnard Antoni dkk., “A Conceptual Framework of Integrity”
3           Cloud Henry (2007), “Integritas”
4           Dinas Psikologi TNI AD, Seminar Nasional (2014) tentang Integritas Manusia Indonesia”


Read more >>

Kamis, 24 Juli 2014

To develop the Adversary Profile Concept as an effort to integrate difference in the framework of strengthening the totality of the NKRI

Accordingly with the jargon of Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity, the Indonesian condition is indeed diverse;  at least there are more than 300 ethnic groups, or 1340 tribes, 737 languages and 6 religious groups spread throughout Sabang to Merauke. These differences have the potentials to generate conflicts, which in the past have been manipulated by the colonial rulers with their dissension policy. However, this difference also has the potential to generate a great power if it is managed to be integrated conducively in the form of awareness of having  a nation and a state.

The awareness of having a nation began to spring with the birth of the Boedi Oetomo movement,  and progressively found their form through the Kongres Pemuda, the Youth Congress, wihich gave birth to the Sumpah Pemuda, the Youth’s Oath.  Subsequently developing  during the era of the independence movement, strengthening unity and totality, solidarity, sense of sharing the same fate, which generate the fighting spirit to oust the colonial rulers from Bumi Nusantara, the fatherland.  The independence movement has succeeded in seeing the nation to be an independent, united, and sovereign with the declaration of the independence of Indonesia. This era was the golden age of the fertile growth of the nationality concept in the hearts, thoughts, attitudes and actions of the entire nation’s components.  This issue was made possible by the presence of a significant factor, which is the colonial ruler as a common adversary, which serves as a unifier. Now the question is, what will happen if the unifier is no longer there?

Presently, Indonesia does not yet have this unifier and has not learned much about difference;  we are more adrift and asleep in the perception of equality as a strength.  Difference, when not well-managed, will eventually outlet in dissension and destruction.

With that in mind,  this opportunity is taken to offer the concept of “Adversary Profile” which is the reflection of three elements; Toughness, Resilience, and Flexibility. These three aspects are believed to be able to generate individual awareness to survive and at the same time to weave  conducive interactions in differences in his community.

Accordingly, it is necessary to undertake a study I depth whether the three elements could serve as a prime solution to conclude difference in the strengthening of the totality of the NKRI.


Read more >>

Senin, 21 April 2014

POKOK POKOK PIKIRAN TENTANG ALTERNATIF SOLUSI MENANGANI KEKERASAN MASSA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI MASSA GUNA MENUNJANG KEAMANAN DALAM NEGERI


Latar Belakang
Keamanan dalam negeri dalam pengertian universal teoritis adalah  kondisi kehidupan nasional  secara menyeluruh, mencakup aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan kewilayahan berada dalam keadaan stabil dinamis, damai, tertib dan tenteram. Namun realitas menunjukan kondisi keamanan dalam negeri tak mungkin nihil dari adanya berbagai gangguan. Sesuai dengan Inpres No 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Kamdagri, gangguan itu mencakup berbagai  permasalahan yang berkaitan dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial budaya; dapat berbentuk (1) perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antar suku, dan antaretnis; (2) sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;  (3) sengketa sumber daya alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan pelaku usaha; atau distribusi sumber daya
Berdasarkan catatan Kemdagri, jumlah peristiwa konflik sosial yang menonjol pada tahun 2010 tercatat 93 peristiwa; tahun 2011, 77 peristiwa; tahun 2012, 128 peristiwa; dan s.d akhir Oktober 2013, 39 peristiwa. Peristiwa tersebut  merupakan implikasi dari kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat dimuka umum yang dijamin UU namun pada kenyataannya  ekspresi yang diwujudkan melalui demonstrasi massa mengarah anarkhis dan kerap menjadi tindak kekerasan yang melanggar hukum
Begitu banyaknya aksi-demontrasi yang dilakukan oleh kelompok massa dengan berbagai kepentingannya, dan mengarah pada tindakan destruktif menimbulkan gangguan pada stabilitas kehidupan masyarakat. Atas dasar itulah Pemerintah dan DPR RI telah membentuk landasan hukum bagi penanganan konflik sosial yaitu  UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial ditindaklanjuti dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri pada bulan Januari 2013, dan diimplementasikan dengan membentuk Tim Terpadu dan penyusunan rencana aksi  mulai tingkat pusat sampai dengan timgkat kabupaten/kota
Penanganan gangguan kamdagri belum mampu mencegah terjadinya kekerasan sosial, peran Polri dan keterpaduan upaya sinergisitas internal Tim terpadu seolah terlambat, karena penetapan status keadaan konflik tak kunjung diberlakukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota yang wilayah kewenangannya dilanda konflik.
Perilaku kolektif massa
Perilaku kolektif ini meliputi perilaku kerumunan/crowd dan perilaku massa/aksi massa  yang dalam pokok bahasan termasuk perilaku dalam keadaan bencana, kepanikan, desas-desus, histeria massa, propaganda, pendapat umum dan revolusi.  Perilaku kerumunan (crowd) bersifat sementara dan memberikan reaksi secara bersamaan terhadap suatu rangsang/stimulus tertentu.   Interaksi sosial antar anggota terjadi secara langsung dalam waktu yang singkat dan bersifat episodik.  Umumnya mereka tidak saling kenal, bentuk perilaku yang ditampilkanpun tidak berstruktur, tidak ada aturan, tradisi atau pola yang dapat dijadikan pedoman, dan tidak ada pengendalian formal atau pemimpin yang ditunjuk.  Kelompok ini bisa saja menjadi liar (reaktif) atau diprovokasi agar terarah pada suatu sasaran tertentu sampai batas tertentu yang dapat dipahami/dianalisa, sehingga dapat diprediksi atau dikendalikan.  
Berbeda dengan kerumunan, aksi massa merupakan sejumlah orang yang relatif besar dan tersebar yang memberikan reaksi terhadap satu atau lebih rangsangan secara perorangan tanpa saling kenal satu dengan yang lainnya. Pada awalnya dari kerumunan yang belum memiliki pembagian tugas secara teratur dan mengikat, ada penggeraknya dan bila penggerak hilang maka akan berubah kembali menjadi kerumunan, berjangka waktu lebih lama dan tercipta dari jumlah keseluruhan tidak yang dilakukan oleh banyak orang (melakukan tindakan yang sama, misalnya  penjarahan, pembakaran, perusakan atau tindakan anarkis lainnya).  Penyebaran aksi massa merupakan penyebaran suasana hati, perasaan atau suatu sikap yang tidak rasional, tanpa disadari dan berlangsung secara relatif cepat didukung oleh beberapa faktor antara lain : Anonimitas, semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinannya melakukan tindakan ekstrim;  impersonalitas; sugestibilitas; tekanan jiwa / stress; interaksional; dan reaksi sosial. Massa merupakan kolektivitas yang merasa berkuasa karena berkerumun dalam suatu kelompok yang besar.  Dalam himpunan massa, orang per orang berlindung dibalik kerumunan dan ketika beraksi massa gampang tergoda merusak fasilitas publik, merampas hak orang lain, mempertontonkan kekerasan sekaligus kebodohan serta kebrutalan.
Perkembangan terjadinya massa dapat digambarkan sebagai berikut: Crowds  adalah sekumpulan orang (kerumunan) bersifat sementara yang memberikan reaksi secara bersama-sama terhadap suatu stimulus tertentu. Dalam perkembangan dinamika selanjutnya crowds dapat berkembang menjadi gerakan massa aktif (mobs) yang bersifat agresif atau pasif (audiences) yang terjadi secara disengaja (konvesional) atau kebetulan (kasual). Mobs dapat berupa tindakan-tindakan aktif dapat bersifat agresif yang mengarah pada tindakan kerusuhan (riot), perusakan atau penghancuran, teror, pembunuhan, pembakaran, penganiayaan, penjarahan/perampasan dan tindakan anarkis lainnya. Mobs yang bersifat ekspresif biasanya dinyatakan dalam kegiatan bersama sebagai pelepasan emosi seperti arak-arakan, pesta adat dan unjuk rasa secara damai. Diantara kedua hal tersebut terdapat reaksi-reaksi panik akibat melarikan diri dari situasi yang menakutkan, mengejutkan, dan mengancam, serta bisa pula disertai tindakan brutal / anarkis.  Sedangkan audiences dapat terjadi secara kebetulan atau direncanakan yang sifatnya mencari hiburan / rekreasi, mencari informasi, dalam rapat umum, dan penerangan. 
Pembagian massa dapat dilihat dari bentuk, sifat maupun gerakannya. Dilihat dari bentuknya terdiri dari Massa abstrak yang merupakan sekumpulan manusia yang belum terikat kesatuan norma emosi dan motif. Embrio masa konkrit bisa bubar tiap saat. Massa konkrit yang merupakan sekumpulan manusa yang sudah memiliki ikatan bathin (emosi , motif, solidaritas, dll). Terdapat persamaan norma/aturan, memiliki struktur yang jelas dan memiliki potensi dinamis.  Dilihat dari sifatnya terdiri dari Massa ekspresif merupakan kelompok yang bersama-sama melepaskan tekanan jiwa dalam kegiatan  tertentu.  Misalnya: Mimbar bebas, arak-arakan  (festival budaya/keagamaan), unjuk rasa tanpa kekerasan, namun bila kelompok semakin membesar dan dimanfaatkan maka dapat berubah menjadi  massa aktif.  Massa aktif merupakan suatu kelompok yang cenderung melaksanakan aksi/tindakan secara serentak.  Secara bersama melepaskan tekanan psikologis melalui tindakan tertentu.  Umumnya kelompok ini berawal dari kelompok tidak puas, muncul ide baru yang bertentangan dengan ide yang ada diulang (clise) dan selanjutnya menunggu kesempat untuk menjadi aksi massa.  Dilihat dari gerakannya terdiri dari : massa Progresif  (Target perubahan/pembaharuan, biasanya bersifat radikal), Status quo (Berlawanan dengan kelompok progresif. Mempertahankan sikap / sistem lama dan selalu konflik dengan gerakan progresif  sampai salah satu menjadi kalah/hancur), dan massa Reaksioner yang merupakan kelompok untung-untungan atau mencari kesempatan,  fleksibel/oportunis yang penting tujuan kelompok berhasil.  Menyerang sesuau yang telah lalu, yang sedang terjadi saat ini, bahkan yang akan datang.
Setiap  gerakan massa  merupakan kompleksitas yang disebabkan oleh banyak variabel, sehingga sulit untuk menduga atau memperhitungkan secara hipotetis frekuensi dan intensitas dari gerakan massa yang terjadi.  Diawali kondisi psikologi seperti adanya frustrasi, konflik menyebabkan stress yang merupakan kondisi laten.  Pada kondisi ini, kerumunan dapat dipicu melalui suatu peristiwa di lingkungan yang menyebabkan terjadinya aksi massa.  Maraknya aksi massa merepresentasikan kondisi emosianal laten yang ada pada masyarakat dan menggejala dalam rasa tidak puas, marah, takut, kebencian serta perasaan negatif lainnya.  Konflik yang meledak menjadi aksi  massa seringkali tidak ada kaitan dengan faktor pemicu.  Setelah massa bergerak di lapangan tujuan  seringkali menjadi tidak penting. Hal yang lebih penting adalah pada pelepasan tekanan kejiwaan melalui tindakan-tindakan yang sudah tidak terkendali / brutal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki tujuan lain.    Beberapa masalah sosial (sumber frutrasi), yaitu permasalahan sosial yang dipandang sebagai Tragedi, seperti penyakit sosial, kenakalan remaja; Ketidak adilan, seperti kesenjangan sosek, hak sosial, dan kepastian hukum/perlindungan hukum; Ancaman, seperti narkoba, perusakan lingkungan, kepadatan, peduduk,  sara,  inflasi, dan urbanisasi; Tindak kejahatan, seperti pembunuhan, perkosaan, main hakim sendiri, dan pemerasan/malak; Campur tangan, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, menulis, pers, dan melakukan aktivitas tertentu; Kurang peradaban, seperti birokrasi yang berbelit-belit, upah di bawah UMR, KKN, kualitas media massa & pendidikan yang rendah.
Terjadinya konflik sosial terjadi karena adanya objek / isue yang dipertentangkan jelas solusi menang / kalah, kompromi, dsb.  Hal yang  yang dipertentangkan tersebut seringkali tidak memiliki latar belakang yang jelas. Objek yang dipertentangkan tidak mencerminkan masalah pokok/utama. Penyebabnya bersifat “intrinsik”, sepert harga diri, kecewa, sakit hati, dendam, rasa tidak aman / terancam dsb. Konflik yang terjadi dibelakang aksi massa cenderung bersifat autistik, yaitu tidak memiliki permasalahan yang jelas, melainkan tersirat ketika sedang menjalankan aksinya.  Konflik yang di masyarakat secara vertikal dampak dari sistem dan kebijakan contoh  pekerja  vs  pengusaha  terkait dengan permasalahan UMR, limbah, dsb.  Sedangkan konflik horizontal  biasanya bersifat SARA.  Konflik sosial juga dapat terjadi karena terjadi kekosongan kekuasaan yang disebabkan antara lain oleh kurang atau tidak  berwibawa Pemerintah atau aparat penegak hukum tidak berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing.
Persoalan dan Pemecahannya
Guna menunjang penanganan kamdagri secara antisipatif dan soft approach, maka pilihan pendekatan psikologi massa cukup relevan untuk ditempuh dalam menangani konflik sosial   Untuk itulah beberapa persoalan yang perlu dipecahkan antara lain : (1) Perilaku individual, perilaku massa dan perilaku sosial; (2) Pembentukan kelompok massa; (3) Karakter perilaku massa (mengapa massa aktif melakukan berbagai tindakan kekerasan  dalam demonstrasi); (4) Peran para aktor (K/L/Pemda dan para tokoh, cara mengemukakan pendapat sesuai dengan aturan yang berlaku, tata cara demonstrasi yang sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga Demonstrasi tidak mengarah pada tindak. Pilihan solusi antisipatif berbasis soft power atau pendekatan hard power yang hanya relevan jika semua pedekatan soft power mengalami kegagalan,
Untuk dapat menggunakan pendekatan soft power perlu untuk memamhi pembentukan kelompok massa, yaitu melalui suatu proses psikologis, seperti : Imitasi merupakan prilaku meniru yang terjadi secara lahiriah tanpa adanya suatu kritik tertentu terhadap hal-hal yang ditirunya, contohnya masyarakat mengikuti menggunakan baju kotak-kotak berwarna untuk megidentikkan dirinya dengan Jokowi yang pro perubahan bagi Jakarta; Empati merupakan suatu perasaan yang terjadi karena menyelami suatu situasi atau keadaan secara mendalam, sehingga dapat menghayati seperti mengalaminya sendiri, contohnya amarah masyarakat terhadap pelaku sopir penabrak orang-orang di trotoir tugu tani yang berada dalam pengaruh narkoba sebagai wujud empati terhadap para korban;  Simpati merupakan bentuk dari perasaan, merasakan yang disertai oleh pengertian dan pemahaman, sehingga biasanya diikuti oleh prilaku tertentu yang menunjukan rasa simpatinya tersebut, contohnya tindakan menghimpun koin bagi yang seseorang yang sedang diperkarakan oleh rumah sakit karena mengeluh tentang pelayanan rumah sakit tersebut kepada temannya via email; juga Sugesti merupakan suatu kondisi menerima suatu pandangan atau sikap tertentu tanpa adanya suatu kritik, contohnya perilaku memborong dan menimbun BBM karena melihat orang-orang lain melakukan hal yang sama sebagai akibat isu kenaikan harga BBM.  Pemahaman mendalam terhadap proses ini diperlukan untuk mampu menangani perilaku massa yang dapat mengarah kepada perilaku tindak kekerasan.
Psikologi massa merupakan ilmu yang  mempelajari dinamika perilaku massa, dalam hal ini massa diartikan sebagai sekumpulan atau kerumunan manusia yang belum memiliki suatu ikatan apapun. Secara internal, terdapat kekuatan individu untuk bergabung dengan suatu kelompok yang bersifat instinktif, reflektif, asosiatif atau sugestif yang berpengaruh pada struktur dan dinamika massa.  Struktur massa merupakan kondisi fisik dan mental pelaku, serta homogenitas antara lain meliputi usia, jenis kelamin, status sosial, dan suku.  Sedangkan dinamika massa mencakup motivasi, intensitas dan kualitas dari gerakannya. Disisi lain, secara eksternal, dukungan masyarakat, ketepatan waktu (momentum), stimulus/rangsangan, seperti jumlah kelompok, juga turut akan berpengaruh pada aktivitas (bervariasi dari yang tanpa kekerasan sampai dengan kekerasan) dan sasaran, seperti politik, sosial dan ekonomi.  Kedua faktor tersebut (eksternal maupun internal) saling berinteraksi dalam proses terbentuknya massa, baik yang bersifat spontan  maupun terorganisir. 
Massa biasanya terjadi spontan terjadi begitu saja, tidak berstruktur, terorganisir dan terkoordinasi, terdiri dari sejumlah besar orang yang bertindak secara serentak dan tidak terkait dalam kelompok tertentu. Mereka melakukan suatu hal atau tindakan yang sama yang merupakan tindakan yang lebih bersifat individual dan tidak ada kontak langsung yang berkesinambungan.  Massa seperti ini dapat terjadi dengan seketika dan  bubar dengan seketika, umumnya dipicu oleh suatu kejadian yang ada di lingkungannya yang memancing reaksi emosi yang sangat kuat.  Sedangkan massa terorganisir memiliki ciri-ciri seperti homogenitas, memiliki tujuan / sasaran lebih jelas, tindakan lebih terarah, memiliki jiwa korsa yang kuat, keyakinan lebih tinggi, motivasi lebih konstan dan prinsipil, kontinuitas pada aksi-aksinya, disertai disiplin lebih kuat dan lebih militan.  Upaya untuk  mempertinggi jiwa kelompok melalui kontinuitas dari gerakannya, kesamaan ide (dimana kepentingan yang bersifat pribadi diredusir), rangsangan psikologis, seperti janji- janji atas dasar kebutuhan nyata / objektif, diberikan slogan–simbol guna merangsang sentimen kelompok, suku, agama dsb, serta terdapat diferensiasi spesialisasi dan fungsi dari anggotanya.
Pembentukan massa mencakup 3 tahapan, yaitu tahap warming up, agresif dan vakum.  Pada tahap warming up dilakukan upanya mengumpulkan individu/simpatisan dengan memfokuskan emosi melalui yell-yell, slogan dan atribut lainnya yang dapat membakar emosi massa.  Pada tahap agresif, kondisi emosi menigkat yang menimbulkan ketegangan, sehingga membutuhkan penyaluran untuk melampiaskan rasa frustrasi, agresivitas dan sifat destruktif.  Selanjutnya akan memasuki tahap vakum, yaitu telah terlampiaskannya emosi, terjadi kelelahan, kesadaran individu muncul,   kehampaan, vakum, depresif dan merupakan fase kritis
Karakter atau sifat-sifat massa dapat dipahami dari sejumlah fenomena berikut ini: (1) Kekuatan anonim merupakan kekuatan bukan penjumlahan tapi kompleksitas kekuatan fisik & psikis yang memiliki dinamika tersendiri dan sulit untuk dikendalikan, ciri-cirinya: individual menghilang, tanggung jawab moral individual bergeser pada kelompok; (2) Kolektivitas homogen, biasanya tanpa direncanakan lebih dulu, didasari kepentingan emosional yang mendasari unsur simpati, sugesti, dan jiwa kolektif; (3) Irasional, bukan inteligensi objektif yang rasional tetapi inteligensi kolektif yang lebih bersifat asosiatif dan instinktif, kurang rasional dan lebih mudah terbawa arus sentiment; (4) Pengendalian diri berkurang, dimana unsur rasio berkurang, kesadaran menurun ingin segera bertindak dan sulit dikendalikan, serta berbuat sekehendaknya; (5) Tindakan primitif, artinya kemunduran dalam bertindak (regresi ketingkat primitif) yang tampil dalam tindakan yang bersifat agresif dan destruktif; (6) Sensitif dan eksplosif, tampil dalam perilaku sangat emosional serta labil, rasa takut hilang, mudah tersinggung, mudah  dipengaruhi tetapi juga sulit dikendalikan, impulsif,  “pemuasan diri jadi faktor utama”, mudah meledak (eksplosif) dan menyerang (ofensif); (7) Menular, merupakan dinamika sosial, mudah meniru dan ditiru serta dimungkinkan pada waktu dan tempat yang berbeda; (8) Sugestibilitas atau mudah dipengaruhi, sehingga menyebabkan mudah ditunggangi oleh kelompok lain yang lebih memperkeruh suasana.
Pelaku massa terdiri dari pelaku aktif yang merupakan pelaku utama, pelaku ikut-ikutan sebagai simpati dan ikut bergerak di lapangan, serta pelaku pasif sebagai simpatisan tapi tidak ikut bergerak.  Di luar itu terdapat kelompok netral yang tidak peduli dan hanya sebagai penonton.  Sedangkan pimpinan massa dapat dilihat dari sifatnya bisa berupa  ide / konsep (massa tak terorganisir) atau manusia (gerakan, memotivasi dan pengendali massa).  Dapat pula diilihat dari fungsinya, yaitu pimpinan yang jadi otak perencanaan, pimpinan yang dapat menggerakan emosi (fase warming up), dan pimpinan yang langsung mengendalikan aksi massa (fase agresif). Faktor yang mendukung terjadinya perilaku kolektif gerakan massa adalah : (1) Propaganda. Suatu teknik (cara,upaya) yang sistimatis dan direncanakan secara mendalam untuk pengaruhi  sikap / pendapat pihak lain. Alat utama dalam propaganda adalah bahasa, yaitu mengaburkan pandangan yang ditunjang bukti / fakta, sehingga dapat mempengaruhi emosi dn sekaligus mengarah pada upaya memberikan  sugesti.  Sementara itu, pemikiran sebenarnya yang didasari pernyataan disembunyikan.  Tujuan propaganada adalah mempengaruhi pandangan hidup, keyakinan publik (meyakini  isi  propaganda) dan tidak memberikan  kesempatan pada publik untuk berpikir panjang untuk membuat alternatif /perbandingan  terhadap pesan propaganda; (2) Agitasi.  Pada dasarnya sama dengan propaganda hanya dalam agitasi bentuknya sudah lebih mengarah pada tindakan menghasut / menganjurkan  tanamkan kebencian kobarkan rasa permusuhan. Hal yang seringkali dengan jalan kekerasam yang biasanya dilakukan oleh organisasi politik yang bertujan menyerang kelemahan lawan pilitiknya; (3)   Public opinion.  Pendapat umum yang diperoleh dari pertimbangan pikiran (diskusi/perdebatan, talkshow dll) yang mengarah pada “keputusan” (pemahaman bersama) tentang sesuatu hal.  Oleh karena itu,  mampu menimbulkan konsesi dan kompromi terhadap sikap-sikap yang bertentangan sehigga dapat mengarahkan kelompok pada tindakan serempak untuk mencapai tujuan bersama;  (4)  Desas-desus / (rumor).  Berita/kabar angin  yang tidak menentu dan tidak jelas, serta kebenarannya sulit dibuktikan.  Penyebarannya bisa dilakukan melaui lisan, tulisan, secara disengaja ataupun  tidak disengaja.  Dalam keadaan tertekan (situasi sosial kritis/ labil) menyebabkan banyak orang menjadi takut dan curiga, sehingga rumor menjadi cepat meluas/menyebar.  Dalam kondisi ini terjadi ketegangan  emossional yang menyebabkan kelabilan pada inidividu, sehingga daya kritiknya jadi menurun.  Rumor menjadisuburu karena adanya kebutuhan, harapan, keingintahuan, ketakutan diatasi dengan ditambah cerita hayal, terutama bila sesuai dengan kepercayaan/keyakinan individu setempat.  Melalui rumor kebencian kembang jadi rasa permusuhan dan bila tidak terkendali bisa menjadi tindakan agresif terhadap individu atau kelompok lain.   Pada masyarakat ataupun individu yang memiliki informasi yang lengkap akan sulit terpengaruh; (5)  Prasangka sosial.  Sikap sosial negatif terhadap orang/kelompok lain seringkali diakibatkan  rasa frustrasi, kepribadian yang kurang matang,  sikap otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri, kurangnya rasa toleransi, kurang mengintrospeksi diri, dan agresif.  Prasangka umumnya mengarah kepada hal-hal yang bersifat negatif sebagai  akibat kurangnya informasi, dan sering dihubungkan dengan kelompok minoritas atau kelompok ethnik tertentu.  Heterogenitas etnik menimbulkan issue kearah prasangka kultural, stereotip dan sangat subjektif.  Memiliki corak menghambat, merugikan, menghancurkan individu/kelompok lain melalui tindakan diskriminatif, scape goating, terutama pada kelompok yang tidak berdaya.
Mengapa massa aktif melakukan berbagai tindakan kekerasan  dalam demonstrasi?  Aksi massa merupakan ekspresi  gerakan kelompok  yang  sudah memiliki  tujuan (arah atau sasaran). Aksi massa biasanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok dengan arah agresi dari  “bawah” ke “atas”.  Dalam konteks ini peran  provokator bukan  hanya sebagai   figur dominan, dapat  juga  berupa figur yang dianggap memiliki kekuatan lebih besar baik dari aspek  sosial, ekonomi, politik.   Oleh karena itu, aksi ini dapat digunakan  sebagai pressure (kelompok yang menekan),  show of force, dan public opinion  yang bersifat fisik. Beberapa faktor yang terdapat pada perilaku kolektif : (1) Kondusifitas struktural (structural conduciveness) merupakan struktur masyarakat yang  dapat mendukung/menghalangi kelompok masyarakat tertentu; (2) Ketegangan struktural (structural strain) perasaan-perasaan kehilangan sesuatu (hak, keistimewaan dsb) pada kalangan  atas berupa rasa ketidakadilan, hajat hidup terancam, sedangkan pada kelas sosial bawah dapat menjadi faktor munculnya ketegangan  struktur pada masyarakat.
Terjadinya pemunculan dan penyebaran pandangan disebabkan adanya persepsi yang sama tentang sumber ancaman, jalan keluar dan pencapaian jalan keluar dalam mengatasi suatu permasalahan.  Faktor pencetus/mempercepat (precipitating factors) seperti teriakan, orang yang lari tiba-tiba dsb. dapat mengawali timbulnya kericuhan pada masyarakat/kerumunan yang sudah memiliki tingkat ketegangan yang tinggi.  Terjadinya mobilisasi  tindakan, umumnya disebabkan dengan adanya pimpinan di lapangan yang mulai  memberikan stimulasi dan mengarahkan kerumunan untuk bergerak menuju sasaran.

Pilihan solusi antisipatif berbasis soft power.
Untuk dapat menggunakan solusi berbasis soft power  diperlukan analisa yang mendalam terhadap kegiatan massa, misalnya mempelajari fenomena, melihat sifat kerusakan, cara, kelompok yang bergabung, simpatisan, tempat, rute, dan situasi yang mempercepat.  Selanjutnya dianalisis pula reaksi sosial terhadap perkembangan situasi tersebut, dengan mempelajari opini yang berkembang di masyarakat, berita di mass media, press release, reaksi dari objek/sasaran.  Informasi yang detail, akurat dan komprehensif ini perlu disintesakan, misalnya melalui kulster genotype (politik, agama, seosial ekonomi, budaya), media (sabotase, intimidasi, provokasi, kudeta, dll), pelaku yang terdiri dari pelaku/penggerak, pelaksana inti, pendukung, simpatisan, kelompok anti dan netral.  Hipotesa sebagai estimasi landasan untuk menentukan langkah selanjutnya
Penanggulangan massa dengan bentuk preventif, dilakukan melalui pendekatan persuasif terhadap pihak bertikai, pencerahan kepada masyarakat untuk meningkatkan tanggung jawab sosial, menghilangkan sumber sterss di masyarakat, dan melaksanakan pengawasan intensif seperti mewaspadai penumpukan massa.  Bila dalam intensitas masih rendah bisa gunakan orang orang yang punya otoritas untuk meredam agresifitas massa.   Tindakan represif diperlukan pada saat intensitas meningkat dimana massa mulai bertindak brutal disertai tindakan yang anarkis biasanya dilakukan tindakan yang sifatnya represif  dengan tujuan menghentikan gerakan, memisahkan  massa dengan sasaran (block / lokalisir /pecahkan /kanalisasi), dan memunculkan kembali kesadaran individu.  Di beberapa negara untuk menghadapi massa yang sudah histeris / brutal dan melakukan tindakan - tindakan anarkis, maka  aparat keamanan     memberikan kekuatan yang “setara” berupa “kejutan”  (rasa sakit, takut dsb) untuk  mengembalikan kesadaran individu, misalnya   menggunakan peluru karet, gas air mata, kanon air dsb.  Tindakan ini dilaksanakan dengan sangat selektif karena dianggap oleh sebagian besar masyarakat saat ini sebagai pelanggaran Ham, namun dilain pihak cara penanganan yang tidak tuntas akan memprovokasi massa (semakin militan).
Pendekatan hard power hanya relevan jika semua pedekatan soft power mengalami kegagalan.  Peran para aktor (K/L/Pemda dan para tokoh, dalam mensosialisasikan cara mengemukakan pendapat sesuai dengan aturan yang berlaku, tata cara demonstrasi yang sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga perilaku massa  tidak mengarah pada tindak kekerasan/destruktif.
Penutup.
Solusi menangani kekerasan massa melalui pendekatan psikologi massa dapat digunakan sebagai salah satu pilihan dalam mendukung keamanan dalam negeri.  Dengan data yang lengkap, akurat dan komprehensif dapat digunakan solusi berbasis soft power yang efektif dan menuntaskan permasalah karena menyentuh pada inti permasalahan serta tidak meninggalkan  trauma  di masyarakat.  Sedangkan Pendekatan hard power merupakan jalan terakhir jika semua pedekatan soft power gagal, karena melalui pendekatan ini akan meninggalkan banyak dampak negatif di masyarakat.
Demikian pokok pokok pikiran tentang alternatif solusi menangani kekerasan massa ditinjau dari perspektif psikologi massa guna menunjang keamanan dalam negeri, semoga dapat menjadi kontribusi bagi pimpinan dan pihak-pihak yang memiliki akses dalam pengambilan keputusan untuk menangani kekerasan massa.




Read more >>