LATAR BELAKANG
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
yang memiliki kemajukan mencapai 75 % , antara lain tergambar luas wilayah 5,8 juta km per segi dan
panjang garis pantai 95.181 km yang memiliki 17.504 pulau. Rakyat yang multikultur
berjumlah 251 juta orang terbagi dalam 365 suku bangsa
yang memiliki keunikan dalam
bahasa daerah dan budaya. Sebagai negara
yang berdaulat, NKRI membutuhkan Ketahanan Nasional (Hannas) guna menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan berbagai
krisis. Upaya
dasar untuk mewujudkan Hannas yang kokoh tersebut adalah intergritas sebagai jati diri dari setiap anak bangsa. Integritas sebagai jati diri bangsa merupakan
kekhasan yang dimiliki suatu bangsa yang membedakannya
dari bangsa yang lain di dunia.
Demikian pula dengan kesadaran berbangsa menjadi keharusan dimiliki oleh
setiap warganya agar memililki rasa memiliki (sense of belonging) dan
sekaligus sebagai daya tangkal terhadap pengaruh negatif dari negara lain atau
pihak manapun.
Banyak yang mengenal dan mengatakan, terutama orang asing, bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang ramah, rendah hati, kreatif, sabar, hangat dan
toleran. Benarkah demikian ? Bila tidak, apa yang membuat bangsa ini berubah? Sebagaimana kita ketahui
perilaku adalah hasil interaksi antara pribadi dan
lingkungan. Sebagaimana pada interaksi lain, ketika salah satu dari yang
berinteraksi buruk, maka tidak mungkin hasilnya akan baik. Begitu pula
sebaliknya. Dengan kata lain, lingkungan yang buruk akan menghasilkan perilaku
yang sama buruknya atau akan bisa mengubah pribadi yang baik menjadi kurang
baik. Pengaruh lingkungan
strategis sebagai dampak perkembangan di lingkungan global, regional dan
nasional berdampak pada perubahan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat
Indonesia akhir-akhir ini.
Pengaruh tersebut selain memberikan dampak positif banyak pula yang
bersifat negatif dan tidak sesuai dengan jati diri (integritas) bangsa
kita. Apakah telah begitu
banyaknya individu yang kurang bahkan tidak memiliki integritas di Negeri
ini? Jelas situasi dan kondisi
seperti ini tentunya dapat juga berpengaruh kepada kehidupan kita dan keluarga,
sehingga jika tidak diantispasi bukan tidak mungkin akan berdampak negatif pula
dan meluas di seluruh lapisan masyarakat.
.
PEMAHAMAN INTEGRITAS
Integritas merupakan dasar bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena menjadi faktor yang mempengaruhi
proses pencapaian keberhasilan yang ingin diraih. Integritas selalu mencakup
adanya konsistensi atau keteguhan hati yang terkait dengan nilai-nilai moral,
prinsip-prinsip dan etika. Dalam banyak
bahasan integritas senantiasa dikaitkan
dalam perilaku jujur, transparan,
adil, bertanggung jawab, berkomitmen, berdisiplin dan menjunjung tinggi harkat
manusiawi. Integritas
merupakan hal yang sangat mendasar dan sebagai fondasi, tampak seperti ungkapan
“Tanpa integritas, motivasi menjadi berbahaya; Tanpa motivasi, kapasitas menjadi tak berdaya; Tanpa
kapasitas, pemahaman menjadi terbatas; Tanpa pemahaman, pengetahuan
tidak artinya; Tanpa pengetahuan, pengalaman menjadi tidak bermakna”. Dari
ungkapan tersebut jelas bahwa untuk membangun jati diri aspek integritas
merupakan fondasi baru selanjutnya aspek motivasi, kapasitas, pemahaman, dimiliki
pengetahuan, dan pengalaman. Oleh karenanya,
integritas yang kuat perlu dimiliki oleh setiap anak bangsa.
1. Fondasi Dasar. Integritas dapat ditampilkan bila terdapat moral compass (sekumpulan nilai dan prinsip yang
dianut) dan inner drives yang
merupakan dorongan untuk hidup sesuai dengan nilai dan prinsip tersebut.
Keseimbangan dua aspek ini perlu terjaga, karena jika inner drives yang
lebih besar seringkali membuat seseorang bertindak egois dan tidak sesuai
dengan integritasnya. Bagi setiap anak bangsa, wawasan
kebangsaan, etika ketimuran, kearifan lokal dan nilai-nilai lainnya merupakan moral compass yang mengatur bagaimana seharusnya mereka bersikap
dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Keaslian. Integritas juga dipandang sebagai suatu keaslian. Seseorang yang
bertindak asli seperti apa dirinya yang sebenarnya. Bukan tingkah laku dibuat-buat
yang tidak mencerminkan jati
dirinya. Menjadi diri sendiri dan bangga dengan kemampuan serta
menerima kekurangannya telah bersatu dalam suatu bentuk integritas. Jika
seseorang mau memiliki Integritas, maka ia terlebih dahulu harus memenuhi kebutuhan
akan harga dirinya. Bukan menggunakan persepsi orang lain dan mengelabuinya
agar merasa diri berharga karena ingin dinilai berhasil, namun dirinya
sendirilah yang menjadi hakim yang
menentukannya. Bagaimana agar seseorang
bisa menjadi lebih baik dan menemukan integritasnya? Hal pertama yang harus dilakukannya adalah
menyadari dan menerima kekurangannya serta menyatakannya dengan “lantang”. Kejujuran di awal ini akan membuatnya lebih bisa dan terbiasa
untuk bersikap jujur secara konsisten, sehingga kata-katanya akan senantiasa
sesuai dengan tindakannya (satu kata dengan perbuatan).
3. Fungsi Integritas Pertanyaan berikutnya adalah
apa fungsi integritas? Terdapat dua
kategori fungsi integritas, seperti
Cognitive Function of
Integrity (CFI), yang meliputi moral Intelligence (kecerdasan
moral) dan self-knowledge (pengetahuan mengenai apa yang benar dan apa
yang salah). Seseorang yang
memiliki CFI baik akan dapat mengintrospeksi dirinya. Tanpa pengenalan diri
yang baik, tentunya akan sulit untuk menilai diri sendiri. Selain CFI juga terdapat fungsi yang lain, yaitu Affective Function (AF).
Dalam AF terdapat dua kategori, yaitu Conscience
dan Self Regard.
Consicence dapat diartikan sebagai hati nurani yang berfungsi sebagai
“hakim” apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan
perilaku integritas. Conscience tidak hanya berfungsi sebagai hakim yang
menghakimi perilaku yang telah terjadi, namun juga pada perilaku-perilaku yang
belum dilakukan. Sedangkan Self-Regard adalah perasaan positif
tentang apa yang dimiliki dan tidak dimiliki. Seorang prajurit yang merasa
dirinya negatif akan melebih-lebihkan dirinya sendiri atau membuat banyak
alasan agar dianggap tetap wajar, meskipun sebenarnya tidak menyelesaikan
kewajibannya.
4. Kompetensi Integritas. Berikut tentang kompetensi yang
dapat membentuk Integritas jati diri anak
bangsa.
a. Motivasi
diri. Suatu dorongan
dari dalam diri dan energi untuk menetapkan suatu tujuan serta bekerja keras
untuk mencapainya, dalam rangka memenuhi komitmen dan untuk memelihara atau
bahkan melebihi standar kinerja (melebihi dari panggilan tugasnya).
b.
Keberanian dan ketegasan moral.
Keberanian untuk bertindak dan membela apa diyakininya dan
untuk menunjukkan prinsip serta nilai-nilai dirinya kepada lingkungan
sosialnya, termasuk keberanian merefleksikan dirinya untuk menerima umpan
balik.
c.
Kejujuran. Kejujuran
pada diri sendiri maupun terhadap orang lain mengenai niat dan kapasitas yang dimilikinya,
misalnya dengan mengatakan apa yang sebenarnya, dimanifestasikan secara
transaparan melalui komunikasi
terbuka dan berbagi informasi secara proaktif.
d.
Konsistensi. Konsisten
dalam mengaplikasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam kehidupannya di
semua situasi, baik pada kehidupan pekerjaan maupun pribadi.
e.
Komitmen. Ketekunan
untuk mencapai apa yang telah menjadi komitmen sebagai prajurit untuk
dilaksanakan sebagai tugas, tanggung jawab dan kewajibannya. Apakah itu
bersifat publik (berkomitmen kepada orang lain/organisasi) atau komitmen pribadi
(berkomitmen untuk diri sendiri), meskipun menghadapi keadaan sulit dan
menantang.
f.
Ketekunan. Diekspresikan
dalam bentuk sikap rajin bekerja dan ketekunan dalam berupaya yang telah
merupakan karakternya.
g.
Disiplin diri. Disiplin
untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip serta untuk mencapai
apa yang telah ditetapkan untuk dilakukan.
Disiplin berfungsi sebagai kendali batas-batas moral seseorang, dalam
aturan dan prinsip-prinsip yang
telah disepakati, serta berkomitmen kepada diri sendirinya maupun orang lain.
h.
Tanggung jawab. Menerima
tanggung jawab untuk suatu tujuan dan aspirasi sesuai kekuatan dan keterbatasan yang dimilikinya, dan merupakan
pilihan yang memiliki konsekuesnsi terhadap suatu sanksi tertentu.
i.
Kepercayaan. Ditampilkan
dalam bentuk reputasi untuk memegang teguh janji, komitmen dan tanggung jawab,
sehingga orang lain dapat mempercayainya sebagai seorang prahurit yang
melakukan apa yang dikatakannya.
j.
Keadilan. Keadilan,
pemerataan dan tidak ada bias dalam pengambilan keputusan, terutama dalam
pengambilan keputusan yang melibatkan dan berdampak pada orang lain/anggota.
PENGARUH LINGKUNGAN
Perkembangan di lingkungan global, regional dan
nasional berdampak pada perubahan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat
Indonesia. Selain memberikan dampak positif banyak pula yang bersifat negatif
yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Dari sisi perdagangan, banyak sekali barang-barang
yang diimpot ke Negeri ini, bahkan sekaligus juga mengimport budaya asing yang
seringkali tidak sesuai dengan budaya bangsa, contoh budaya Amerika dan Korea. Konsep integritas anak
bangsa yang ada pada saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh budaya universal
dibandingkan dari dalam budaya Indonesia itu sendiri. Hal itu, menyebabkan implementasi integritas di Indonesia
seringkali menemui kendala karena benturan dengan budaya Indonesia. Begitu
banyak remaja dan anak-anak, bahkan
mungkin orang dewasa dan tua yang mengadopsi nilai dan gaya hidup dari
negara-negara tersebut. Seperti
apa yang kita amati dan rasakan, belakangan ini nilai hedonisme berkembang
semakin pesat yang memberikan ukuran kesenangan (pleasure principles)
sebagai segala-galanya, dan memicu terbentuknya nilai-nilai materialistis. Hal
ini juga diperkuat oleh provokasi berbagai media masa yang memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada saat ini banyak orang yang lebih mementingkan
diri sendiri (ego sektoral) dibandingkan dengan kepentingan umum yang lebih
besar. Nilai yang dianut adalah kekayaan dan kekuasaan adalah segala-galanya. Terjadi peningkatan sifat egoisme yang
sangat tinggi pada banyak orang, yaitu kepentingan diri melebihi kepentingan
apapun. Dalam teori A Maslow. Kebutuhan seperti ini merupakan kebutuhan tingkat
dasar (Basic Need). Ironisnya hal ini terjadi pada masyarakat luas, dan
bahkan banyak diantara mereka yang
mempunyai posisi jabatan yang tinggi dan orang-orang yang memiliki kekayaan
berlimpah. Jika mindset seperti ini ada pada diri seseorang
tentunya akan memberikan pengaruh negatif
pada dirinya. Di dalam organisasi,
ia akan merusak, di jalan raya ugal-ugalan dan menyebabkan kesemrawutan, saat
melakukan berdemonstrasi akan
anarkis, dll. Tidak ada lagi ada perasaan malu dan tampak memiliki potensi
emosi yang bersifat negatif dan sangat gampang “meledak”.
Beberapa sumber pengaruh negatif
“SERANGAN” 6 mungkin juga merupakan
perang psikologi
dari pihak-pihak berkepentingan yang patut diwaspadai adalah sebagai berikut :
F 1 – FOOD. Wisata
kuliner sangat berkembang khususnya di kota-kota besar, seperti jakarta,
Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Seiring dengan
itu juga berkembanganya tawaran makanan ala “barat”, dan nyaris outlet-outlet ala barat tersebut padat dengan
berkunjung. Masyarakat sangat menggemari fast food, yang di negaranya sendiri disebut sebagai junk food (baca: makanan sampah) Sampah koq dimakan dan digemari yaa? Penawaran makanan dan menu ini
sarat dengan nuansa bisnis semata, dan kurang memperhatikan aspek kalori dan
kesehatan. Akhirnya kita terjebak dan tergantung pada
makanan yang kurang, bahkan dapat dikatakan tidak berkualitas. Sementara itu bukankah kebutuhan hidup
sehat mempersyaratkan makanan yang sehat. Belum lagi jika melihat dari segi
nilai-nilai yang lebih mendalam, bagaimana jadinya jika kita sudah tidak
menggemari makanan khas daerah dari negeri sendiri.
F 2 –
FASHION. Baju
tradisional sudah banyak ditinggalkan, bahkan anak dan remaja kita banyak yang
tidak mengenali lagi pakaian-pakaian khas daerah. Kembali lagi pakaian dari budaya luar yang sangat populer
dan digemari. Alasan
pembernarannya, modis, lebih simpel dan praktis. Untuk penganut agama Islam yang terbesar di negeri ini,
banyak telah melanggar kaidah-kaidah norma berbusana jelas, khusunya untuk
pakaian wanita karena banyak disobek disana-sini, sementara bagian bawah
semakin ke atas dan bagian atas semakin ke bawah. Banyak dari masyarakat yang lebih menyenangi produk pakaian
bergaya luar dibandingkan dengan khas Indonesia, tersirat di dalamnya emosi
positif pada produk luar dan emosi negatif pada produk dalam negeri.
F 3 – FUN. Sesuatu
yang bersifat lucu atau hiburan bersumber pada kreativitas yang merupakan hal
yang tidak biasa. Apa sebenarnya yang ditawarkan? Dalam lawak yang berkembang
sering kita melihat pria yang meniru gaya kewanitaan, dari perlaku maupun
kostum yang digunakan. Bahkan
dalam persepsi tertentu sudah ada yang bernuansa pelecehan. Belum lagi kelakar yang disampaikan
terkadang sangat furgar, dan kita
menjadi tertawa saat menyaksikannya (baca : menyetujui). Seorang individu memulai pembelajaran
dari meniru, sehingga panutan dan keteladanan sangat diperlukan. Jika panutan
dan keteladanan yang tidak baik, maka hasil tersebut juga yang menjadi nilai
dirinya.
F 4 – FILM. Kalimat
yang sering saya ucapkan saat memberikan pelatihan adalah “hampir pada setiap film Amerika kita melihat bendera Amerika,
sementara itu hampir pada setiap Film lokal kita senantiasa melihat pocong,
hantu, kuntianak dan kawan-kawannya”. Pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan? Belum lagi tontonan yang mengarah pada
seksualitas dan agresifitas.
Alasan pembenaran yang sering kita dengan adalah mengikuti “tuntutan
skenario” ataupun keinginan pasar.
Film maupun tontonan di telivisi juga dapat meng”hipnotis” masyarakat
untuk selalu menonton, dan sekaligus menyerap nilai-nilai yang disampaikan dan
memasukannya ke alam bawah sadar sekaligus mempengaruhi kondisi psikologinya.
F 5 - FANTASI. Dunia
fantasipun sudah lama ada di negeri ini.
Setiap warga masyarakat akan merasa “tertinggal” kalau belum pernah
mencoba segala macam permainan yang ditawarkan dengan harga yang tidak
murah. Pada dasarnya manusia tidak
akan pernah puas dengan hal yang bersifat seperti ini, sehingga kreativitas
mengembangkan tantangan barupun dibuat. Pada tempat lain tawaran fantasi dengan
permainan keberuntungan (gambling)
yang dapat memperoleh hadiah menggiurkan, sehingga masyarakat diajak untuk
berfantasi menjadi kaya secara
instan. Masyarakat dapat menjadi
hanyut dalam nilai-nilai hedonisme, dan ingin dapat memperoleh keuntungan
dengan cara-cara instan.
F 6 - FILOSOFI. 5 F terdahulu secara bertahap dan
berlanjut, lambat tetapi pasti mulai menggrogoti nilai-nilai dan jati diri anak
bangsa. Akhir-akhir ini mulai
banyak sekali pembahasan tentang Pancasila. Upaya tersebut tentunya perlu
diarahkan kepada penyebab utamanya yang sehari-hari selama bertahun-tahun
menanamkan doktrin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. jika nilai dan jati diri (integritas)
anak bangsa sudah keropos tentunya tinggal menunggu kehancurannya saja.
Tentunya masih banyak “F” lainnya, namun dengan 6 F
tersebut saja sudah membuat keprihatinan yang mendalam, karena jelas-jelas
memberikan nilai yang dapat merubah sikap dan prilaku kearah hal-hal yang
bersifat negatif. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan
integritas anak bangsa negeri saat ini dan
bagaimana upaya yang perlu dilakukan.
PEMBINAAN INTEGRITAS DI LINGKUGAN TNI ANGKATAN
DARAT
Berikut sekilas tentang pembinaan integitas
di lingkungan TNI AD yang dapat dijadikan sebagai pembanding dalam mencari opsi
solusi pembinaan integritas. Dalam
suatu diskusi ilmiah di Dispsiad bersama dengan narasumber DR.Wisnubrata &
Prof Frans Mardi (2007) dirumuskan tentang integritas prajurit yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1. Bukan sekedar mampu menjalankan perintah,
tetapi mampu memahami makna dari perintah itu (Kompetensi motivasi diri, tanggung jawab, dan kepercayaan).
2. Bukan sekedar menguasai ilmu dan teknik
kemiliteran, tetapi juga mampu menggunakannya dengan arif dan penuh kepedulian
(Kompetensi keadilan, tanggung jawab,
keberanian dan ketegasan moral).
3. Bukan sekedar mampu menjadi anggota militer
yang profesional, tetapi juga mau bersiap diri untuk hidup dan bekerja di
lingkungan masyarakat sipil (Kompetesi
konsistensi dan komitmen).
4. Bukan hanya terampil secara fisik, tetapi juga
mampu bertindak dengan cerdas dan arif. (
Kompetensi kejujuran dan keadilan).
5. Bukan hanya memiliki semangat kor yang kuat,
tetapi juga menyadari bahwa dirinya juga warga masyarakat luas yang biasa (Kompetensi komitmen, tanggung jawab, dan
kepercayaan).
6. Melihat senjata bukan hanya sebagai alat
pemusnah belaka, tetapi juga memandangnya sebagai cerminan rasa tanggung jawab
yang besar (Kompetensi tanggung jawab dan disiplin diri).
7. Bukan melihat dirinya sebagai bagian dari
sekelompok orang yang memiliki hak-hak istimewa, tetapi justru merasa dirinya
sebagai warga masyarakat biasa dengan tanggung jawab istimewa (Kompetensi ketekunan, keadilan, tanggung
jawab, keberanian dan ketegasan moral).
Apakah
karakteristik ini telah mencakup dan meliputi seluruh kompetensi integritas
yang meliputi kompetensi integritas ? Jika kita mencoba mengkorelasikannya,
maka sangat jelas bahwa karakteristi tersebut meliputi kompetensi integritas
sebagai jati diri prajurit. Selanjutnya, setelah karakteristik ini
dapat diterima dan disepakati, maka tujuan dan arah pendidikan untuk
pengembangan akan semakin jelas, yaitu selain membekali dengan kompetensi
teknis dan institusional, juga menanamkan nilai-nilai dan prinsip sesuai
karakteristik tersebut sebagai moral
compass. Untuk itu diperlukan upaya terpadu dan bersifat holistik
yang dimulai penyiapan, pengembangan, pemeliharaan dan perawatan integritas
diri prajurit.
Dalam penyiapan
calon prajurit telah dapat dirumuskan kriteria yang jelas tentang kompetensi integritas minimal yang harus
dimiliki. Diyakini bahwa pembentukan integritas perlu dilakukan sejak dini,
bahkan ada yang mengatakan sejak di dalam kandungan. Pembentukan karakter pertama kali dialami oleh seseorang,
yaitu saat pengasuhan awal dalam keluarga, jadi role model pertama dalam
pembentukan integritas adalah para orangtua dan dilanjutkan melalui proses
pendidikan-pendidikan formal dan informal.
Penyiapan calon prajurit dilakukan melalu proses
rekrutmen yang cukup panjang. Dalam seleksi yang dilaksanakan secara kholistik
dengan melibatkan multi disiplin ilmu, yaitu : Aspek Mental Ideologi, Akademis,
Kesehatan, Kebugaran Jasmani, dan psikologi. Pendalaman mental ideologi memiliki kemiripan dan psikologi,
yaitu mengelaborasi latar belakang keluarga dan kehidupan calon karena hal ini
dianggap sangat penting untuk mengantisipasi apakah seorang calon masih
berpeluang untuk dikembangkan menjadi prajurit yang handal. Sedangan pendekatan psikologi dilakukan
melalui pemeriksaan psikologi (paper & pencil test), psikologi lapangan,
wawancara dan observasi untuk memprediksi sebesar apa peluang pengembangan yang
dapat dilakukan dari calon tersebut.
Kedua pendekatan ini paling tidak saling melengkapi untuk memahami
kondisi mental psikologi calon termasuk juga keterkaitannya dengan aspek
spiritual dan
budaya. Secara umum rumusan calon yang memiliki peluang sebagai pemenang, yaitu Taughness (kekokohan)
dalam menghadapi berbagai permasalahan, Resilience (ketahanan) untuk
segera bangkit kembali setelah mengalami sesuatu kegagalan, dan Flexibility
(fleksibilitas) menggunakan berbagai cara dalam mengatasi suatu permasalahan. Adapun ciri-ciri yang ditampilkan dalam
bentuk prilaku seperti sejauhmana mereka telah berupaya semaksimal mungkin
berkontribusi secara positif di lingkungannya, kemampuan mengelola emosi secara
efektif, konsistensi dalam berbuat sesuatu kebaikan.
Keputusan lulus dan lolos
dalam seleksi merupakan kesepakatan dari berbagai disiplin ilmu tersebut dalam
suatu sidang Pantuhir (Panitia Penentu Akhir) sesuai kriteria yang
berlaku. Dalam hal ini keseimbang
seorang individu merupakan persyaratan yang sangat mendukung dalam proses
pembinaan selanjutnya. Selesai proses seleksi ini dan para calon prajurit yang dinyatakan
memenuhi persyaratan, maka akan mengikuti pendidikan pembentukan militer dasar
yang keras dalam rangka pengembangan dari potensi dan
kompetensi yang telah dimiliki sebelumnya. Ada suatu premis yang menarik
mengatakan bahwa “orang menjadi baik itu harus dipaksa, munculnya kepatuhan
harus dipaksa dengan dibentuknya sistem yang baik.” Oleh karena itu, untuk menghasilkan manusia berintegritas
sistem dan lingkunganpun perlu diberikan perhatian khusus. Bagaimana lembaga pendidikan mengembangkannya?
Perlu menanamkan doktrin secara tepat karena akan menjadi moral compass
bagi calon prajurit yang bersangkutan. Prinsip tripola dasar dalam pendidikan
merupakan pendekatan keseimbangan yang serasi, namun perlu disepakati tujuan
yang ingin dicapai terkait dengan integritas (jati diri) prajurit. Gadik (Tenaga Pendidik) dan Gapendik (tenaga
Pendukung Pendidikan) memiliki andil yang besar, sehingga perlu memahami tujuan
pembentukan prajurit.
Pada saat seseorang telah meliwati masa
pembentukan sebagai prajurit dan dinyatakan lulus, maka upaya pengembangan
integritas tentunya tidak boleh terhenti. Tahapan selanjutnya merupakan tahapan
pemeliharaan dan perawatan. Di satuan, bagaimana upaya Pimpinan
mengembangkannya ? Menjadi model, dan juga dapat memberikan bimbingan serta
konseling. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut setiap pimpinan perlu
memahami bahwa sesungguhnya setiap manusia akan bertindak sedemikian rupa
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, baik yang dilakukan secara sadar maupun
tidak sadar.
Secara
bertahap, bertingkat dan berlanjut, unsur pimpinan senantiasa memelihara
dan merawat pengembangan integritas
prajuritnya. Antara lain dilakukan melalui inspirasi (jam komandan/pimpinan)
dan memotivasi prajuritnya agar tergugah selalu memelihara dan mengembangkan
integritasnya. Di Satuan,
senantiasa dilakukan upaya untuk memfasilitasi seperti apa yang telah
didapatkan setiap prajurit dalam lembaga pendidikan. Setiap prajurit diingatkan dan dikendalikan agar tetap
waspada dalam memilih dan memilah konsumsi bagi mata dan telinganya. Artinya
perlu selektif terhadap apa yang dilihat, dibaca dan ditonton, juga selektif
dalam mendengar, karena semua ini dapat menstimulasi mereka dalam bersikap dan
berprilaku
Kondisi psikologi yang prima, termasuk
integritas akan mendukung tertanam dan berkembangnya nilai-nilai luhur pada setiap
diri prajurit. Pendekatan
psikologi dimulai dari menyiapkan, mengembangkan, dan memelihara serta merawat
(SIAPBANGHARWAT) kondisi integritas prajurit pada hakekatnya bukan menjadi hanya
menjadi tanggung jawab satu institusi yang terkait langsung, seperti
Dispsiad. Namun terdapat
institusi/pihak lain yang memiliki keterkaitan, seperti kesehatan jasmani, dan bidang personel, bahkan setiap unsur pimpinan
(Perwira) juga memperhatikan baik keseimbangan dirinya maupun prajuritnya.
Dikatakan demikian karena kondisi psikologi, termasuk integritas merupakan muara dari berbagai kondisi lainnya,
seperti kondisi kesehatan, jasmani,
spiritual, dan kesejahteraan mereka.
PENUTUP
Setiap anak bangsa perlu memiliki integritas yang
kokoh agar dapat menampilkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tatanan
aturan dan hukum serta etika yang berlaku. Tanpa integritas yang kokoh akan menstimulasi individu
berupaya untuk berada pada comfort zone (zona nyaman) dan
mempertahankannya dengan segala macam cara. Mereka tidak siap menghadapi pengaruh dari tantangan,
kendala dan permasalahan, serta menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terus
terjadi. Selanjutnya bagaimana integritas dapat
dikembangkan untuk mdndukung Ketahanan Nasional ? Diperlukan upaya paripurna dari segenap
komponen bangsa dan muslti disiplin ilmu untuk pertama menyepakati konsep
integritas sebagai jati diri anak bangsa, dan selanjutnya upaya pembinaan yang
dilakukan dimulai dari penyiapan, pengembangan, pemeliharaan dan perawatan.
Demikian tulisan “Antisipasi dan
Solusi Terhadap Terjadinya Krisis Integritas Anak Bangsa Indonesia Dalam Rangka Memperkokoh
Ketahanan Nasional” disusun sebagai upaya dan
tanggung jawab moral guna mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Kepustakaan
1
Al-Mishi Mahmud (2009), “Ensiklopedia
Akhlak Muhammad SAW”
2
Barnard Antoni dkk., “A
Conceptual Framework of Integrity”
3
Cloud Henry (2007), “Integritas”
4
Dinas Psikologi TNI AD, Seminar
Nasional (2014) tentang “Integritas Manusia Indonesia”