Mengenang sesepuh psikologi yang sangat saya hormati & sayangi, serta dijadikan panutan.....berikut salah satu tulisan beliau yang perlu untuk dipahami......
Sekilas
tentang Pemeriksaan Psikologi (Psikotest)
Salah Satu Buah Pemikiran Almarhum Brigjen TNI (Purn)
Soemarto, Dipl. Psych
Psikotest dapat didefinisikan
sebagai suatu metoda untuk mendapatkan suatu sampel tingkah laku seseorang
dalam situasi yang standar. Dapat dikatakan juga bahwa test adalah
suatu ‘contoh’ tingkah laku dalam situasi. ‘Contoh’ tersebut diregistrasikan
sebagai hasil test dan merupakan tingkah laku yang akan selalu ditunjukkan oleh
seseorang dalam situasi yang sama. Situasi yang standar diartikan sebagai
kondisi-kondisi yang sama bagi semua orang yang ditest. Jadi Psikotest bukanlah
dapat disamakan dengan ujian mengenai pengetahuan. Psikotest bukanlah sesuatu yang perlu dipelajari atau dipelajarkan.
Banyak orang yang salah mengerti tentang Psikotest, terutama orang-orang yang
menganggap test itu dapat dipelajari dan mereka yang berorientasi pada status,
bukan prestasi, sehingga mereka berusaha mempelajari Psikotest dengan cara-cara
tertentu dan melakukan pemalsuan atau penipuan (cheating) dengan pertolongan seseorang yang sedikit tahu tentang Psikotest
atau bahkan dari seorang psikolog yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian
ia mengira akan mempunyai kesempatan untuk maju dalam karirnya. Tetapi dengan
demikian justru ia menipu diri sendiri dan merugikan organisasi.
Adapula orang yang merasa takut jika ia
diharuskan menjalani pemeriksaan psikologi, karena sebetulnya ia kurang
memahami Psikotest secara betul. Mungkin sikap seperti itu juga dibarengi
dengan kecurigaan yang berlebihan ataupun rasa kurang pasti pada diri sendiri.
Tentu hasil Psikotest mereka itu tidak akan menggambarkan kemampuan yang
sebenarnya, dan bahkan hanya memperlihatkan segi tertentu dari watak atau
kepribadiannya saja. Oleh karena itu sebaiknya dalam menghadapi Psikotest orang
bersikap wajar dan tidak dibuat-buat, namun sungguh-sungguh mengikuti instruksi
pengetest atau psikolog yang memeriksanya.
Lain halnya dengan orang yang atas kehendak
sendiri meminta bantuan kepada psikolog untuk diperiksa. Ia akan mengahadapi
pemeriksaan psikologi dengan sikap yang lebih terbuka. Maka hasil suatu test
sangat tergantung pula kepada sikap yang menjalani test di samping kepada
situasi pemeriksaannya. Situasi pemeriksaan perlu diciptakan sewajar
mungkin dengan kerja sama dan saling mempercayai antara pemeriksa dengan yang
diperiksa. Untuk itu diperlukan waktu yang relatif cukup agar psikolog
benar-benar dapat menciptakan suasana at
ease bagi yang diperiksa. Dengan demikian orang yang meminta bantuannya
akan merasa sangat bebas untuk mengutarakan pikiran, pendapat dan perasaannya
baik secara lisan maupun tertulis. Suasana yang penuh minat dan kebebasan itu
hanya dapat diciptakan oleh psikolog yang terampil dalam menyajikan test yang
memenuhi standar. Mahasiswa psikologi biasanya dilatih untuk mengembangkan
keterampilan semacam itu.
Namun dewasa ini, di Indonesia
ternyata banyak orang bukan psikolog juga memiliki Psikotest dan menggunakannya
dalam rangka seleksi, klasifikasi atau penjurusan studi. Sepintas lalu
tampaknya memang sangat mudah menggunakan alat pemeriksaan yang disebut Psikotest
itu, asal berpedoman kepada instruksi, cara menghitung (menskor) dan
mengevaluasi data, yang biasanya lengkap tersedia bersama alat test itu
disertai dengan norma dan validitasnya. Mungkin pekerjaan itu dapat disamakan
dengan mengukur tekanan darah dengan mudah oleh siapa saja yang cukup cerdik.
Akan tetapi sebenarnya pekerjaan semacam itu menuntut selain pengetahuan yang
dalam tentang Psikotest juga tanggung jawab profesional dan alangkah naifnya
jika tanggung jawab profesional sekaligus sosial itu dikesampingkan begitu
saja. Oleh karena itu, orang harus
berhati-hati dalam meminta bantuan psikologi dan perlu mewaspadai praktek psikologi yang kurang memperhatikan tanggung
jawab profesional dan sosial itu.
Sebaiknya para calon pengguna jasa
psikologi meminta penjelasan dulu kepada ‘psikolog’ atau orang yang memakai Psikotest
sebagai salah satu cara menjual jasa, tentang curriculum vitae yang bersangkutan, terutama apakah ‘psikolog’ atau
oknum lain itu benar-benar mampu dan berwenang untuk melakukan profesinya
dengan menggunakan Psikotest. Hal ini penting agar para calon pengguna jasa
psikologi tidak terjebak oleh catatan yang tidak bertanggung jawab.
Psikotest dapat dilakukan secara individual dan berkelompok. Pelaksanaan
testing yang dilakukan secara individual atau berkelompok (klasikal) harus
memperhatikan syarat-syarat tertentu yang standar, seperti ruangan yang cukup
penerangannya, mempunyai hawa segar, penyampaian instruksi yang jelas, mudah dimengerti
dan lain sebagainya. Kecuali jika ada maksud lain, misalnya menambah stress
untuk kepentingan standarisasi dan research.
Kebanyakan orang mengira bahwa Psikotest
itu serba mampu mengungkap semua segi kepribadian, dengan lain perkataan tanpa
keterbatasan. Sesungguhnya untuk dapat dikatakan bahwa test itu baik, haruslah
syarat-syarat berikut ini terpenuhi: yaitu harus reliable, valid dan mempunyai norma atau standar. Apabila semua itu
telah dipenuhi, maka sebagai alat ukur Psikotest dapat dianggap objektif.
Sekalipun demikian tidak berarti bahwa Psikotest itu sudah ‘sempurna, tanpa
kekurangan’ (infallible). Hasil Psikotest
dapat menggambarkan tingkah laku seseorang dengan tidak tepat, karena beberapa
faktor, yaitu kondisi orang yang diperiksa (misalnya sedang kurang sehat badan,
tidak berminat, hendak memperdaya, tidak siap, takut-takut, dan sebagainya).
Kondisi orang yang memeriksa (khilaf menskor, tergesa-gesa menyimpulkan, dan
sebagainya), kondisi lingkungan fisik yang tidak memenuhi syarat (misalnya
kurang penerangan, bising, hawa udara yang tidak segar dan terlalu panas atau
dingin, dan sebagainya). Kondisi yang ideal memang sejauh mungkin diciptakan
agar dapat dikatakan standar, sehingga hasil Psikotest dapat lebih
dipertanggungjawabkan. Kiranya dengan demikian dapat dijelaskan, bahwa
melakukan pemeriksaan psikologi itu tidak sembarangan dan sebaiknya
pemakainya/pelakunya mempunyai
latar belakang pendidikan psikologi yang formal dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Membuat Psikotest adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Prosedur kerjanya cukup panjang dan memerlukan kecakapan tertentu yang dilandasi oleh pengetahuan statistik dan teori psikologi yang mendalam. Prinsip-prinsip dan prosedur konstruksi Psikotest diajarkan di fakultas psikologi, disertai latihan-latihan yang diperlukan. Test yang telah diciptakan selama ini mungkin sampai kepada jumlah ribuan, namun test yang baik dan sering digunakan/dianjurkan tidak banyak jumlahnya. Di Indonesia tentu pula telah beredar Psikotest yang berasal dari luar negeri. Test tersebut belum tentu seluruhnya telah distandarisasikan, bahkan divalidasikan sesuai prosedur konstruksi test yang lazim. Oleh karena itu para pengguna jasa psikologi perlu waspada terhadap penggunaan test yang belum memenuhi syarat-syarat reliability, validity dan standar atau norma yang diperlukan.
Membuat Psikotest adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Prosedur kerjanya cukup panjang dan memerlukan kecakapan tertentu yang dilandasi oleh pengetahuan statistik dan teori psikologi yang mendalam. Prinsip-prinsip dan prosedur konstruksi Psikotest diajarkan di fakultas psikologi, disertai latihan-latihan yang diperlukan. Test yang telah diciptakan selama ini mungkin sampai kepada jumlah ribuan, namun test yang baik dan sering digunakan/dianjurkan tidak banyak jumlahnya. Di Indonesia tentu pula telah beredar Psikotest yang berasal dari luar negeri. Test tersebut belum tentu seluruhnya telah distandarisasikan, bahkan divalidasikan sesuai prosedur konstruksi test yang lazim. Oleh karena itu para pengguna jasa psikologi perlu waspada terhadap penggunaan test yang belum memenuhi syarat-syarat reliability, validity dan standar atau norma yang diperlukan.
Validity adalah hal
yang terpenting untuk diperhatikan dalam konstruksi dan penggunaan semua tipe
test. Validity selalu dihubungkan
dengan pertanyaan: “Test ini mengukur apa?” Selanjutnya perlu dijawab pula
pertanyaan: “Apa arti suatu skor?” dan “Skor ini bercerita tentang apa?” atau
“Dengan apa skor pada test ini dapat dihubungkan?” Dalam tulisan ini tidak akan
diterangkan sampai terperinci tentang validity
suatu test, namun masih perlu diketahui bahwa ada tiga macam validity, yaitu content, criterion dan construct
validity. Content validity hendaknya jangan dikacaukan dengan face validity, suatu istilah yang
digunakan untuk menunjuk kepada kesan seseorang bahwa test itu ‘relevan’. Ada dua
jenis criterion validity, yaitu concurrent validity dan predictive validity. Untuk construct validity perlu dibedakan pula
dalam convergent validity dan discriminant validity.
Apabila validity menerangkan hubungan antara hasil-hasil test dan kriteria-kriteria
di luar test itu sendiri, maka reliability
lebih menerangkan hubungan-hubungan di dalam test itu sendiri. Jadi prosedur
penilaian yang disebut reliability
itu menjelaskan kecermatan dan keajegan (konsistensi) hasil yang diukur oleh
suatu test. Skor sebagai hasil suatu test hendaknya bebas dari
pengaruh-pengaruh penentu lain secara kebetulan, sehingga skor itu dapat
dipercaya. Istilah lain
untuk reliability seperti yang
digunakan oleh Cronbach (1970), ialah
generalizability.
Standar atau norma
diperlukan agar orang dapat mengerti arti suatu skor yang diperoleh seseorang
pada test tertentu. Dengan norma itu orang dapat membandingkan kedudukan skor
itu dalam populasi di mana test itu distandarisasikan. Dalam proses
interpretasi, skor mentah perlu ditransformasikan kedalam bermacam-macam jenis.
Sekedar untuk pengetahuan saja dikemukakan di sini bahwa ada dua jenis
transformasi, yaitu percentile score
dan standard score. Selain yang
penting itu masih ada norma lain, seperti stanine,
Wechsler IQ’s, sedangkan TNI AD
menggunakan variasi dari standard score
(z-Score) yang dinamakan ‘kelas angka’ (punten
klasse). Dengan cara pembuatan standar atau norma berdasarkan kelompok
tertentu, misalnya kelompok Perwira, Bintara dan Tamtama, atau kelompok pendidikan,
misalnya Akmil, Selapa, Seskoad, maka setiap skor yang diperoleh seorang testee
dapat diartikan dalam konteks kelompok tertentu. Di USA ada jenis-jenis standard scores seperti CEEB (College Entrance Examination
Board) Scores dan AGCT (Army General Classification Test) Scores.
Pembuatan norma untuk objective test (test intelegensi) relatif lebih mudah daripada
untuk projective test (test
kepribadian), jenis test kepribadian yang menggunakan kuesioner yang sering
dinamakan ‘inventories’ masih
termasuk objective test. Namun projective test seperti Rorschach, Thematic Apperception Test, Wartegg
Zeichen Test, Baum Test, masih lebih sulit prosedur pembuatan normanya
karena faktor-faktor lingkungan terutama budaya dan nilai-nilai sosial, serta
banyak makna simbolik yang perlu diperhitungkan. Pengalaman klinik para ahli di
bidang psikologi ikut menentukan dalam pembentukan kemampuan
mengintrepretasikan symptom-symptom yang muncul pada hasil pemeriksaan
psikologi yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan validity coefficient, reliability coefficient dan pembuatan standar atau norma diperlukan perhitungan
statistic. Untuk itu pula diperlukan penguasaan metoda psikometrik, terutama
dalam konstruksi test objektif. Menggunakan test yang telah ‘jadi’ memang
tampak mudah, namun seorang ahli di bidang psikologi pasti dan harus mengetahui
serta menguasai prosedur konstruksi test objektif agar benar-benar bertanggung
jawab dalam melakukan profesinya.
Mengingat bahwa
hingga saat ini masih banyak orang yang menanyakan cara-cara menghadapi Psikotest,
maka berikut ini kami sampaikan beberapa tips yang dapat dilakukan berkaitan
dengan Psikotest.
1.
Harus
cukup istirahat/tidur sebelum pelaksanaan Psikotest. Hal ini penting dilakukan
untuk menghimpun energi yang dapat meningkatkan konsentrasi.
2.
Percaya pada kemampuan diri sendiri. Tidak
perlu kasak-kusuk yang justru dapat mengakibatkan timbulnya
kebingungan/ketegangan, apalagi bila informasi yang diperoleh ‘menyesatkan’.
3.
Perhatikan instruksi yang diberikan oleh testor
(pengetest). Bila belum jelas, bertanyalah pada testor sebelum waktu untuk
mengerjakan test dihitung.
4.
Kerjakan materi test seoptimal mungkin, sesuai
dengan petunjuk/ instruksi testor. Penyimpangan terhadap instruksi dapat
mengakibatkan kesalahan dalam proses pengerjaan.
5.
Pusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada materi
yang dikerjakan. Dengan demikian maka energi yang dimiliki dapat
dimanfaatkan dengan optimal.
6.
Periksa kembali apa yang sudah dikerjakan, apabila
waktunya masih ada (belum ada aba-aba “selesai” / “berhenti”). Hal ini
memungkinkan kita untuk mengoreksi/memeriksa kembali jawaban yang diberikan
dengan lebih teliti.