At The Top Level Of
The Sport, Where Many Athletes Have Equal Physical
Ability, The Difference Between A Great And A Good Performance Or Between
Winning And Losing Is Often Related To
Mental Rather Than Physical Abilities
Jumat, 20 Januari 2012
Kamis, 19 Januari 2012
Nilai-nilai Oympism Membangun Karakter
MELALUI
OLAH RAGA (Nilai-Nilai Olympism) MENGEMBANGKAN
INTEGRITAS
& KARAKTER
Dalam
hidup ini diperlukan keseimbangan
harmoni antara aspek kepribadian, intelektual, dan jasmani. Oleh karena itu, berolah raga hendaknya
tidak diartikan sebagai olah fisik semata tetapi juga perlu dibarengi dengan
mental spiritual dan juga wawasan pengetahuan tentang olah raga tersebut. Suatu
kondisi ideal merupakan suatu keseimbangan yang sangat diperlukan dan dipersyaratkan bagi setiap individu.
Untuk memahami tentang olah raga
secara mendalam, perlu mempelajari tentang sejarah Olimpiade Kuno (1300 – 776 Sebelum Masehi).
Pada mulanya olimpiade adalah bagian dari ritual keagamaan bangsa Yunani
(Greece) dan koloninya untuk menyembah dan memuja dewa Zeus. Setelah dilakukan ritual keagamaan di
sebuah kuil di bukit Kronus dikota
Olimpia, selanjutnya dilakukan sebuah festival/lomba olahraga yang diikuti oleh ratusan atlit bangsa Yunani yang
dimaksudkan sebagai penghargaan dan rasa syukur bagi dewa Zeus.
Olahraga yang diperlombakan pada awalnya adalah berkuda,
tinju dan pentathlon yang terdiri dari lompat jauh, lempar lembing, lempar
cakram, lari dan gulat. Pada saat
itu para atlit melakukan lomba dengan bertelanjang bulat. Lomba diadakan setiap 4 tahun sekali di
stadion berkapasitas 40.000 dan berlangsung selama 5 hari.
Peserta dan penonton yang diijinkan
berpartisipasi hanyalah kaum pria. Selama masa perlombaan berlangsung semua
aktifitas peperangan dan sikap sikap permusuhan dihentikan dan dilarang. Pemenang lomba diberikan mahkota yang
terbuat dari daun Zaitun dan diberikan gelar pahlawan. Begitu dihormatinya para
pemenang, sehingga sebuah peperangan akan berhenti bila “sang pemenang”
melintas medan pertempuran.
Pada 393 Setelah Masehi Lomba di Olimpia dihentikan
oleh kerajaan kristen yang berkuasa pada saat itu yaitu Theodore I. Pada 426 Setelah Masehi Raja Theodore
II menghancurkan kota Olimpia.
Selain itu kota Olimpia hancur & hilang akibat bencana alam.
Sejarah Olimpiade Modern,
Olympimsm & Gerakan Olympiade.
Sejarah Olimpiade Abad 19 Kembali pada tahun 1852, ketika arkeolog Jerman Ernest Curtius yang bekerja di rereuntuhan Olympia menemukan kembali peninggalan
kebudayaan kota Olimpia. Idenya untuk menghidupkan kembali olimpiade diterima
oleh Baron Pierre De Coubertin,
seorang bangsawan prancis. Dengan
motto "The important thing is not to
win, but to participate" pada tanggal 23 Juni 1884, ia memberikan gagasan untuk
membangkitkan kembali Semangat Lomba Olimpia (Olympism) yang dipadukan
dengan penyelenggaraan
pertandingan olah raga tingkat internasional (olympic games) yang kemudian dikenal dengan gerakan olimpiade (olympic movement). Ide dasarnya adalah menciptakan kehidupan yang damai di dunia
melalui kegiatan olah raga antar bangsa.
Olimpiade modern yang pertama diadakan di kota Athena pada tahun 1896 mengajak
negara-negara di dunia untuk bersama menghidupkan kembali nilai & kegiatan Olimpiade sebagai solusi mengatasi krisis sosial, politik
akibat dari konflik dan permasalahan di berbagai & antar Negara. Kegiatan Olimpiade diharapkan dapat
memberikan inspirasi dan semangat persaudaraan dalam upaya membangun resolusi
perdamaian untuk mengatasi kekacauan yang terjadi di seluruh dunia. Untuk maksud tersebut dan agar
pelaksanaan aktifitas pergerakan olimpiade berjalan secara terpadu dan
berkesinambungan di seluruh
dunia maka ditetapkan piagam
olimpiade (Olympic Charter). Olympic Charter adalah prinsip-prinsip
dasar, peraturan-peraturan dan anggaran rumah tangga yang telah tersusun secara
sistematik yang dipakai sebagai pedoman oleh IOC.
Pokok Pokok Pikiran Gerakan Olimpiade adalah untuk :
o Mempromosikan dan menyebar luaskan olahraga dan nilai filosofisnya (olympism)
sebagai dasar pembentukan fisik dan pengembangan moral manusia.
o Mendidik generasi muda
melalui olahraga dalam semangat
saling pengertian dan persaudaraan
yang lebih baik diantara mereka, sehingga memungkinkan terbentuknya dunia yang lebih damai dan
lebih baik.
o Menyebar luaskan
prinsip-prinsip Olimpiade keseluruh dunia, sehingga membentuk semangat internasional.
o Mempertemukan atlet dunia
dalam suatu festival olahraga empat tahunan, yaitu pertandingan olimpiade (Olympic
Games).
Olympism
Sebagai Pokok Pikiran
o Olympism adalah dasar fundamental dan filosofi kehidupan yang
mencerminkan dan mengkombinasikan keseimbangan antara jasmani (badan
yang sehat) dan rohani
(kemauan, moral dan kecerdasan) serta mengharmonikan antara kehidupan
keolahragaan, kebudayaan dan pendidikan, sehingga dengan demikian dapat
diciptakan keselarasan kehidupan yang didasarkan pada kebahagiaan dan usaha
yang mulia, nilai nilai pendidikan yang baik dan penghargaan pada prinsip-prinsip
etika.
o Tujuan Olympism adalah menempatkan olahraga dimana saja
sebagai wahana pembentukan manusia
secara utuh yang harmonis dalam
usaha membangun suatu
masyarakat yang damai dengan saling menghormati. Untuk kepentingan ini gerakan
olahraga berusaha secara sendiri-sendiri ataupun bekerjasama dengan organisasi
yang terkait menciptakan
kegiatan-kegiatan dalam usaha membangun perdamaian yang abadi.
Simbol Gerakan Olimpiade Modern
5 Cincin Dengan Lima Warna : Biru,
Kuning, Hitam, Hijau dan Merah
dengan latar belakang putih. Menggambarkan wakil dari 5 benua yakni ; Asia,
Eropa, Afrika, Amerika dan Australia, serta negara negara di dunia yang di simbolkan dengan 5 warna yang
merupakan bagian dari warna bendera masing masing Negara. Diciptakan oleh
B.Pierre de Coubertin dan diluncurkan pertamakali dan di gunakan tahun 1914
pada kongres Olimpiade di Antwerpen.
Motto Pertandingan Olimpiade Modern
“(Citius) Lebih cepat……… (Altius) Lebih tinggi ….… (Fortius) Lebih kuat”
“(Citius) Lebih cepat……… (Altius) Lebih tinggi ….… (Fortius) Lebih kuat”
Di
usulkan oleh Father Henri Didon, seorang guru dari Republik Dominika, salah
seorang teman B.Pierre de Coubertin
Paradigma Gerakan Olympiade
o Prestasi
olahraga bukan yang utama bagi
atlet dalam suatu kompetisi, melainkan hasil dari proses
keseluruhannya, yaitu terbangunnya
kemuliaan diri yang merupakan kombinasi & keseimbangan antara kualitas &
keterampilan fisik (skill), sikap/kemauan (attitute), dan
kecerdasan pikiran (knowledge) sebagai prinsip dasar hidup.
o Nilai-nilai olympiade (olympism) sebagai
filosofi, mengandung arti tidak
ada pembedaan dalam hal; ras, suku, agama, ideologi & warna kulit,
serta merupakan usaha untuk menciptakan
perdamaian dunia.
7 (Tujuh) Komponen Standar Dari Sasaran
Pembentukan Moral Dalam Olympism
1.
Kesempurnaan
Dalam Performansi (Excellence in
performance)
2.
Berpartisipasi
Dengan Kegembiraan & Kesenangan (Joy
and pleasure in participation)
3.
Kejujuran
dalam berkompetisi (Fairness of play)
4. Rasa Hormat Terhadap Sesama (Respect for other
nations, cultures, religions, races and individuals)
5.
Pengembangan
Kualitas Manusia (Human quality
development)
6. Belajar
Secara Bersama & Terpadu (Leadership
by sharing, training, working and competing together)
7.
Kedamaian
Antara Bangsa (Peaceful co-existence
between different nations peace)
Penjabaran Nilai-Nilai
Gerakan Olimpiade & Olympism Secara Lebih Luas Dalam kehidupan mencakup :
• Visioner (tujuan jangka panjang)
•
Peacefull
(kedamaian)
•
No
Discrimination (tidak diskriminatif)
•
Mutual
Understanding (saling memahami)
•
Friendship
(persahabatan)
•
Solidarity
(solidaritas)
•
Fair
Play (kejujuran,adil,wajar)
•
Excellence (keunggulan)
•
Fun
(kesenangan)
•
Respect
(menghargai)
•
Human
Development (pengembangan
diri)
•
Leadership
(Kepemimpinan)
•
Motivation
(semangat,pantang menyerah)
•
Team
Work (kerjasama,sinergi)
Jika nilai-nilai ini benar-benar
dapat diaplikasikan dalam kehidupan, tentunya sangat berpengaruh signifikan
pada situasi kehidupan kita, karena pada hakekatnya nilai-nilai juga merupakan
nilai kehidupan yang bersifat general. Demikian tingginya pengembangan
nilai yang dihayati dalam dunia olah raga, senantiasa diikuti pula dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang tersebut. Selanjutnya
melalui nilai-nilai tersebut diyakini akan dapat mengembangkan integritas dan
karakter diri anak bangsa.
Kesimpulan
o Pada setiap nafas kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari kegiatan berolah raga, berolah pikir, dan
berolah mental spiritual yang sangat diperlukan dalam menjaga kesimbangan yang
harmoni. Pada masing-masing
kegiatan tersebut juga melibatkan aktivitas lainnya. Sebagai contoh, olah raga disini bukanlah sekedar mengolah raga
atau tubuh, melainkan merupakan suatu kegiatan yang sangat kompleks yang dapat
dipelajari oleh berbagai disiplin ilmu, dan memiliki filosofi kehidupan. Oleh karena itu, olah raga dapat pula
digunakan untuk mengembangkan integritas dan karakter seorang individu (Intergrity
& Character Development).
o Keseimbangan kondisi dari mind,
body and spirit, keseimbangan kondisi akademi dan jasmani, keseimbangan
dari berbagai peran yang dimainkan dalam kehidupan merupakan faktor yang
menentukan dalam meraih suatu keberhasilan yang hakiki.
Referensi
Rita Sri Wahyusi Subowo,
Pidato Pengukuhan Doktor HC di Universitas Negeri Semarang
Rabu, 18 Januari 2012
Waspada "Serangan" 6 F
WASPADA “SERANGAN” 6 F
Prilaku adalah hasil interaksi Pribadi dengan
Lingkungan. Kita (bangsa Indonesia) sangat terkenal sebagai pribadi yang rendah
hati, ramah, suka menolong dan banyak sifat-sifat baik dan terpuji
lainnya. Namun belakangan, saya
merasakan, pribadi yang molek itu sudah makin sulit didapat. Coba perhatikan
bagaimana prilaku kita saat berkendaraan, saat berbeda pendapat, saat tidak
berhasil mendapatkan yang kita inginkan. Lihat pula, betapa mudahnya kita
‘terbakar’ dan melakukan tindakan yang anarkis (berbau kekerasan). Baik sebagai
individu maupun kelompok.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada pribadi kita?
Seberapa jauh lingkungan menggeser prilaku kita? Dan apa yang sudah
mempengaruhi lingkungan kita?
ADA keterkaitan yang kuat dan tak terpisahkan antara
lingkungan, prilaku dan kepribadian seseorang, suatu kelompok atau satu bangsa.
Dan salah satu faktor yang membangun dan bahkan bisa memperkuat keterkaitan itu
adalah gaya hidup.
Gaya hidup kita dipengaruhi antara lain oleh 6 F. Apa
saja 6 F itu, inilah rinciannya:
F 1 – FOOD.
Wisata kuliner makin berkembang, khususnya di kota-kota
besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya dan kota-kota besar
lainnya. Seiring dengan itu, makanan ala ’barat’ dan outlet-outletnya pun menjamur.
Dan masyarakat kita, baik tua, muda maupun anak-anak makin banyak yang
menggemari fast food. Jenis makanan yang di negara asalnya dikenal dengan
sebutan junk food (baca: makanan
sampah). Sampah koq digemari ya?
Waspada:
Semua jenis junk
food tidak mengandung zat gizi apa pun. Dengan kata lain, tidak sehat dan
tidak akan menyehatkan. Lagi pula, kalau bukan kita sendiri, lantas siapa yang
akan menyukai makanan negeri sendiri?
F 2 –
FASHION
Baju tradisional sudah banyak ditinggalkan. Bahkan
anak dan remaja kita juga sudah banyak yang tidak mengenali lagi pakaian-pakaian
khas daerah. Dengan alasan tren
mode, simple dan praktis, kita pun menjadi pengikut tren mode Barat. Banyak di
antara kita yang sudah tidak peduli lagi, apakah mode itu masih sesuai dengan
kaidah-kaidah agama atau tidak. Yang penting, trendy, itu kata banyak orang.
Waspada
Menjauhi busana tradisional sama dengan menyebar
emosi negatif terhadap produk dalam negeri dan budaya sendiri.
F 3 – FUN.
Sesuatu yang bersifat lucu atau hiburan bersumber
pada kreativitas yang merupakan hal yang tidak biasa. Apa sebenarnya yang
ditawarkan? Dalam lawak yang berkembang sering kita melihat pria yang meniru gaya
kewanitaan, dari perlaku maupun kostum yang digunakan. Bahkan dalam persepsi tertentu sudah ada
yang bernuansa pelecehan. Belum
lagi kelakar yang disampaikan terkadang sangat furgar, dan kita menjadi tertawa saat menyaksikannya (baca :
menyetujui).
Waspada, kita memulai pembelajaran dari meniru, sehingga
panutan dan keteladanan sangat diperlukan. Jika panutan dan keteladanan yang
tidak baik, maka hasil tersebut juga yang menjadi nilai diri kita.
F 4 – FILM.
Kalimat yang sering saya ucapkan saat memberikan
pelatihan adalah “hampir pada setiap film
Amerika kita melihat bendera Amerika, sementara itu hampir pada setiap Film
lokal kita senantiasa melihat pocong, hantu, kuntianak dkk”. Pesan apa yang
sebenarnya ingin disampaikan? Belum lagi tontonan yang mengarah pada
seksualitas dan agresifitas.
Alasan pembenaran yang sering kita dengan adalah mengikuti “tuntutan
skenario” ataupun keinginan pasar.
Waspada, film maupun tontonan di telivisi juga dapat
meng”hipnotis” kita untuk selalu menonton, dan sekaligus menyerap nilai-nilai
yang disampaikan dan memasukannya ke alam bawah sadar kita sekaligus mempengaruhi
emosi kita.
F 5 - FANTASI.
Dunia fantasipun sudah lama ada di negeri ini. Setiap warga masyarakat akan merasa
“tertinggal” kalau belum pernah mencoba segala macam permainan yang ditawarkan
dengan harga yang tidak murah.
Pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas dengan hal yang bersifat
seperti ini, sehingga kreativitas mengembangkan tantangan barupun dibuat. Pada
tempat lain tawaran fantasi dengan permainan keberuntungan (gambling) yang dapat memperoleh hadiah
menggiurkan. Kita diajak
berfantasi untuk secara instan menjadi kaya.
Waspada, kita dapat menjadi hanyut dalam nilai-nilai
hedonisme, dan ingin dapat memperoleh keuntungan dengan cara-cara instan.
F 6 - FILOSOFI.
5 F terdahulu secara bertahap dan berlanjut, lambat
tetapi pasti mulai menggrogoti nilai-nilai dan jati diri anak bangsa. Akhir-akhir ini mulai banyak sekali
pembahasan tentang Pancasila. Upaya tersebut tentunya perlu diarahkan kepada
penyebab utamanya yang sehari-hari selama bertahun-tahun menanamkan doktrin
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Waspada, jika
nilai-nilai dan jati diri anak bangsa sudah keropos tentunya tinggal menunggu
kehancurannya saja.
Mungkin masih banyak F lainnya, meskipun demikian dengan 6 F tersebut saja sudah membuat bulu kuduk ini menjadi berdiri,
karena jelas-jelas memberikan nilai yang dapat merubah sikap dan prilaku kearah
hal-hal yang bersifat negatif.
Gejala yang kita lihat sekarang dan dahulu nyaris tidak ada. Apa yang
terjadi dengan anak bangsa Negeri ini?
Saya masih meyakini bahwa pada dasarnya banyak
masyarakat Indonesia yang memiliki pribadi yang baik, namun lingkungan sangat
dominan memberikan nuansa yang lain berupa pengisian emosi negatif yang merubah
perilakunya. Hal-hal seperti, gibahtaimant,
gosiptaiment, dan fitnahtaiment yang
ditayangkan secara luas dengan intensitas tinggi menjadi konsumsi sehari-hari
yang difavoritkan. Jelas hal ini akan mengotori emosi orang yang
mengkonsumsinya.
Nah kalau sudah begini bagaimana kita
harus melangkah? Jawabannya adalah FILTER…. Konon Socrates seorang filosof bijak jaman Yunani Kuno
pernah didatangi oleh temannya yang ingin menceritakan tentang teman lainnya,
namun beliau mem-FILTER dahulu dengan tiga pertanyaan :
1.
Apakah cerita itu mengandung nilai-nilai kebaikan ?
2.
Apakah cerita itu mengandung nilai-nilai Kebenaran?
3.
Apakah cerita itu mengandung nilai-nilai kegunaan ?
Karena jawaban temannya meragukan bahkan cenderung
“TIDAK”, maka Socrates tidak mau mendengarkan cerita tersebut, dan ia sudah
terselamatkan dari satu cerita yang dapat “mengotori” emosinya.
Oleh karena itu, perlu filter dalam memberikan
konsumsi kepada mata (visual) maupun telinga (auditif) kita untuk melihat dan
medengar hal-hal yang bersifat positif. Apa yang menjadi konsumsi mata dan
telinga akan berpengaruh langsung pada hati dan pikiran kita dan selanjutnya
akan merubah perilaku. Semuanya menjadi pilihan kita sendiri, seperti kata
orang bijak “life is like piano…what you
get out of it depends on how you play it”. Akhirnya semua ini tergantung pada diri kita
pribadi dalam menentukan sikap dalam menghadapi dan bergaul dengan lingkungan.
Selasa, 17 Januari 2012
PELATNAS PBSI
At The Top Level Of
The Sport, Where Many Athletes Have Equal Physical
Ability, The Difference Between A Great And A Good Performance Or Between
Winning And Losing Is Often Related To
Mental Rather Than Physical Abilities
Langganan:
Postingan (Atom)