WASPADA “SERANGAN” 6 F
Prilaku adalah hasil interaksi Pribadi dengan
Lingkungan. Kita (bangsa Indonesia) sangat terkenal sebagai pribadi yang rendah
hati, ramah, suka menolong dan banyak sifat-sifat baik dan terpuji
lainnya. Namun belakangan, saya
merasakan, pribadi yang molek itu sudah makin sulit didapat. Coba perhatikan
bagaimana prilaku kita saat berkendaraan, saat berbeda pendapat, saat tidak
berhasil mendapatkan yang kita inginkan. Lihat pula, betapa mudahnya kita
‘terbakar’ dan melakukan tindakan yang anarkis (berbau kekerasan). Baik sebagai
individu maupun kelompok.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada pribadi kita?
Seberapa jauh lingkungan menggeser prilaku kita? Dan apa yang sudah
mempengaruhi lingkungan kita?
ADA keterkaitan yang kuat dan tak terpisahkan antara
lingkungan, prilaku dan kepribadian seseorang, suatu kelompok atau satu bangsa.
Dan salah satu faktor yang membangun dan bahkan bisa memperkuat keterkaitan itu
adalah gaya hidup.
Gaya hidup kita dipengaruhi antara lain oleh 6 F. Apa
saja 6 F itu, inilah rinciannya:
F 1 – FOOD.
Wisata kuliner makin berkembang, khususnya di kota-kota
besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya dan kota-kota besar
lainnya. Seiring dengan itu, makanan ala ’barat’ dan outlet-outletnya pun menjamur.
Dan masyarakat kita, baik tua, muda maupun anak-anak makin banyak yang
menggemari fast food. Jenis makanan yang di negara asalnya dikenal dengan
sebutan junk food (baca: makanan
sampah). Sampah koq digemari ya?
Waspada:
Semua jenis junk
food tidak mengandung zat gizi apa pun. Dengan kata lain, tidak sehat dan
tidak akan menyehatkan. Lagi pula, kalau bukan kita sendiri, lantas siapa yang
akan menyukai makanan negeri sendiri?
F 2 –
FASHION
Baju tradisional sudah banyak ditinggalkan. Bahkan
anak dan remaja kita juga sudah banyak yang tidak mengenali lagi pakaian-pakaian
khas daerah. Dengan alasan tren
mode, simple dan praktis, kita pun menjadi pengikut tren mode Barat. Banyak di
antara kita yang sudah tidak peduli lagi, apakah mode itu masih sesuai dengan
kaidah-kaidah agama atau tidak. Yang penting, trendy, itu kata banyak orang.
Waspada
Menjauhi busana tradisional sama dengan menyebar
emosi negatif terhadap produk dalam negeri dan budaya sendiri.
F 3 – FUN.
Sesuatu yang bersifat lucu atau hiburan bersumber
pada kreativitas yang merupakan hal yang tidak biasa. Apa sebenarnya yang
ditawarkan? Dalam lawak yang berkembang sering kita melihat pria yang meniru gaya
kewanitaan, dari perlaku maupun kostum yang digunakan. Bahkan dalam persepsi tertentu sudah ada
yang bernuansa pelecehan. Belum
lagi kelakar yang disampaikan terkadang sangat furgar, dan kita menjadi tertawa saat menyaksikannya (baca :
menyetujui).
Waspada, kita memulai pembelajaran dari meniru, sehingga
panutan dan keteladanan sangat diperlukan. Jika panutan dan keteladanan yang
tidak baik, maka hasil tersebut juga yang menjadi nilai diri kita.
F 4 – FILM.
Kalimat yang sering saya ucapkan saat memberikan
pelatihan adalah “hampir pada setiap film
Amerika kita melihat bendera Amerika, sementara itu hampir pada setiap Film
lokal kita senantiasa melihat pocong, hantu, kuntianak dkk”. Pesan apa yang
sebenarnya ingin disampaikan? Belum lagi tontonan yang mengarah pada
seksualitas dan agresifitas.
Alasan pembenaran yang sering kita dengan adalah mengikuti “tuntutan
skenario” ataupun keinginan pasar.
Waspada, film maupun tontonan di telivisi juga dapat
meng”hipnotis” kita untuk selalu menonton, dan sekaligus menyerap nilai-nilai
yang disampaikan dan memasukannya ke alam bawah sadar kita sekaligus mempengaruhi
emosi kita.
F 5 - FANTASI.
Dunia fantasipun sudah lama ada di negeri ini. Setiap warga masyarakat akan merasa
“tertinggal” kalau belum pernah mencoba segala macam permainan yang ditawarkan
dengan harga yang tidak murah.
Pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas dengan hal yang bersifat
seperti ini, sehingga kreativitas mengembangkan tantangan barupun dibuat. Pada
tempat lain tawaran fantasi dengan permainan keberuntungan (gambling) yang dapat memperoleh hadiah
menggiurkan. Kita diajak
berfantasi untuk secara instan menjadi kaya.
Waspada, kita dapat menjadi hanyut dalam nilai-nilai
hedonisme, dan ingin dapat memperoleh keuntungan dengan cara-cara instan.
F 6 - FILOSOFI.
5 F terdahulu secara bertahap dan berlanjut, lambat
tetapi pasti mulai menggrogoti nilai-nilai dan jati diri anak bangsa. Akhir-akhir ini mulai banyak sekali
pembahasan tentang Pancasila. Upaya tersebut tentunya perlu diarahkan kepada
penyebab utamanya yang sehari-hari selama bertahun-tahun menanamkan doktrin
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Waspada, jika
nilai-nilai dan jati diri anak bangsa sudah keropos tentunya tinggal menunggu
kehancurannya saja.
Mungkin masih banyak F lainnya, meskipun demikian dengan 6 F tersebut saja sudah membuat bulu kuduk ini menjadi berdiri,
karena jelas-jelas memberikan nilai yang dapat merubah sikap dan prilaku kearah
hal-hal yang bersifat negatif.
Gejala yang kita lihat sekarang dan dahulu nyaris tidak ada. Apa yang
terjadi dengan anak bangsa Negeri ini?
Saya masih meyakini bahwa pada dasarnya banyak
masyarakat Indonesia yang memiliki pribadi yang baik, namun lingkungan sangat
dominan memberikan nuansa yang lain berupa pengisian emosi negatif yang merubah
perilakunya. Hal-hal seperti, gibahtaimant,
gosiptaiment, dan fitnahtaiment yang
ditayangkan secara luas dengan intensitas tinggi menjadi konsumsi sehari-hari
yang difavoritkan. Jelas hal ini akan mengotori emosi orang yang
mengkonsumsinya.
Nah kalau sudah begini bagaimana kita
harus melangkah? Jawabannya adalah FILTER…. Konon Socrates seorang filosof bijak jaman Yunani Kuno
pernah didatangi oleh temannya yang ingin menceritakan tentang teman lainnya,
namun beliau mem-FILTER dahulu dengan tiga pertanyaan :
1.
Apakah cerita itu mengandung nilai-nilai kebaikan ?
2.
Apakah cerita itu mengandung nilai-nilai Kebenaran?
3.
Apakah cerita itu mengandung nilai-nilai kegunaan ?
Karena jawaban temannya meragukan bahkan cenderung
“TIDAK”, maka Socrates tidak mau mendengarkan cerita tersebut, dan ia sudah
terselamatkan dari satu cerita yang dapat “mengotori” emosinya.
Oleh karena itu, perlu filter dalam memberikan
konsumsi kepada mata (visual) maupun telinga (auditif) kita untuk melihat dan
medengar hal-hal yang bersifat positif. Apa yang menjadi konsumsi mata dan
telinga akan berpengaruh langsung pada hati dan pikiran kita dan selanjutnya
akan merubah perilaku. Semuanya menjadi pilihan kita sendiri, seperti kata
orang bijak “life is like piano…what you
get out of it depends on how you play it”. Akhirnya semua ini tergantung pada diri kita
pribadi dalam menentukan sikap dalam menghadapi dan bergaul dengan lingkungan.
SubhanAllah semoga keluarga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dan Pancasila tetap menjadi Ideologi satu-satunya di Bumi NKRI ini,...
BalasHapus