Latar Belakang
Keamanan dalam negeri dalam pengertian universal
teoritis adalah kondisi kehidupan
nasional secara menyeluruh,
mencakup aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan kewilayahan berada dalam
keadaan stabil dinamis, damai, tertib dan tenteram. Namun realitas menunjukan
kondisi keamanan dalam negeri tak mungkin nihil dari adanya berbagai gangguan.
Sesuai dengan Inpres No 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Kamdagri,
gangguan itu mencakup berbagai permasalahan yang berkaitan dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial
budaya; dapat berbentuk (1) perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antar suku,
dan antaretnis; (2) sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau
provinsi; (3) sengketa sumber daya
alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan pelaku usaha; atau
distribusi sumber daya
Berdasarkan catatan Kemdagri, jumlah peristiwa konflik
sosial yang menonjol pada tahun 2010 tercatat 93 peristiwa; tahun 2011, 77
peristiwa; tahun 2012, 128 peristiwa; dan s.d akhir Oktober 2013, 39 peristiwa.
Peristiwa tersebut merupakan implikasi dari kebebasan
masyarakat untuk menyatakan pendapat dimuka umum yang dijamin UU namun pada
kenyataannya ekspresi yang diwujudkan
melalui demonstrasi massa mengarah anarkhis dan kerap menjadi tindak kekerasan
yang melanggar hukum
Begitu
banyaknya aksi-demontrasi yang dilakukan oleh kelompok massa dengan berbagai
kepentingannya, dan mengarah pada tindakan destruktif menimbulkan gangguan pada
stabilitas kehidupan masyarakat. Atas dasar itulah Pemerintah dan DPR RI telah
membentuk landasan hukum bagi penanganan konflik sosial yaitu UU No. 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial ditindaklanjuti dengan terbitnya Instruksi
Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam
Negeri pada bulan Januari 2013, dan diimplementasikan dengan membentuk Tim
Terpadu dan penyusunan rencana aksi
mulai tingkat pusat sampai dengan timgkat kabupaten/kota
Penanganan
gangguan kamdagri belum mampu mencegah terjadinya kekerasan sosial, peran Polri
dan keterpaduan upaya sinergisitas internal Tim terpadu seolah terlambat,
karena penetapan status keadaan konflik tak kunjung diberlakukan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota yang wilayah kewenangannya dilanda konflik.
Perilaku
kolektif massa
Perilaku
kolektif ini meliputi perilaku
kerumunan/crowd dan perilaku
massa/aksi massa yang dalam pokok bahasan termasuk perilaku dalam keadaan bencana,
kepanikan, desas-desus, histeria massa, propaganda, pendapat umum dan revolusi. Perilaku kerumunan (crowd)
bersifat sementara dan memberikan reaksi secara bersamaan terhadap suatu
rangsang/stimulus tertentu.
Interaksi sosial antar anggota terjadi secara langsung dalam waktu yang
singkat dan bersifat episodik.
Umumnya mereka tidak saling kenal, bentuk perilaku yang ditampilkanpun
tidak berstruktur, tidak ada aturan, tradisi atau pola yang dapat dijadikan
pedoman, dan tidak ada pengendalian formal atau pemimpin yang ditunjuk. Kelompok ini bisa saja menjadi liar
(reaktif) atau diprovokasi agar terarah pada suatu sasaran tertentu sampai
batas tertentu yang dapat dipahami/dianalisa, sehingga dapat diprediksi atau
dikendalikan.
Berbeda dengan kerumunan, aksi massa
merupakan sejumlah orang yang relatif besar dan tersebar yang memberikan reaksi
terhadap satu atau lebih rangsangan secara perorangan tanpa saling kenal satu
dengan yang lainnya. Pada awalnya dari kerumunan yang belum memiliki pembagian
tugas secara teratur dan mengikat, ada penggeraknya dan bila penggerak hilang
maka akan berubah kembali menjadi kerumunan, berjangka waktu lebih lama dan
tercipta dari jumlah keseluruhan tidak yang dilakukan oleh banyak orang
(melakukan tindakan yang sama, misalnya
penjarahan, pembakaran, perusakan atau tindakan anarkis lainnya). Penyebaran aksi massa merupakan penyebaran
suasana hati, perasaan atau suatu sikap yang tidak rasional, tanpa disadari dan
berlangsung secara relatif cepat didukung
oleh beberapa faktor antara lain : Anonimitas, semakin tinggi
kadarnya, semakin besar kemungkinannya melakukan tindakan ekstrim; impersonalitas;
sugestibilitas; tekanan jiwa /
stress; interaksional;
dan reaksi sosial. Massa
merupakan kolektivitas yang merasa berkuasa karena berkerumun dalam suatu
kelompok yang besar. Dalam
himpunan massa, orang per orang berlindung dibalik kerumunan dan ketika beraksi
massa gampang tergoda merusak fasilitas publik, merampas hak orang lain,
mempertontonkan kekerasan sekaligus kebodohan serta kebrutalan.
Perkembangan terjadinya massa dapat digambarkan sebagai berikut: Crowds adalah sekumpulan orang
(kerumunan) bersifat sementara yang memberikan reaksi secara bersama-sama
terhadap suatu stimulus tertentu. Dalam perkembangan dinamika selanjutnya crowds dapat berkembang menjadi gerakan massa aktif (mobs) yang bersifat
agresif atau pasif (audiences)
yang terjadi secara disengaja (konvesional) atau kebetulan (kasual). Mobs dapat berupa tindakan-tindakan aktif
dapat bersifat agresif yang mengarah
pada tindakan kerusuhan (riot),
perusakan atau penghancuran,
teror, pembunuhan, pembakaran, penganiayaan, penjarahan/perampasan dan tindakan
anarkis lainnya. Mobs yang bersifat ekspresif
biasanya dinyatakan dalam kegiatan bersama sebagai pelepasan emosi seperti arak-arakan, pesta
adat dan unjuk rasa secara damai. Diantara kedua hal tersebut terdapat reaksi-reaksi panik akibat melarikan diri dari situasi yang menakutkan, mengejutkan, dan mengancam, serta bisa pula disertai tindakan brutal / anarkis. Sedangkan
audiences dapat terjadi secara kebetulan atau direncanakan yang sifatnya mencari
hiburan / rekreasi, mencari informasi, dalam rapat umum, dan penerangan.
Pembagian massa dapat dilihat dari bentuk,
sifat maupun gerakannya. Dilihat dari bentuknya terdiri dari Massa
abstrak yang merupakan sekumpulan manusia yang belum terikat kesatuan norma
emosi dan motif. Embrio masa konkrit bisa bubar tiap saat. Massa konkrit yang merupakan sekumpulan manusa yang sudah memiliki ikatan bathin
(emosi , motif, solidaritas, dll). Terdapat persamaan norma/aturan, memiliki
struktur yang jelas dan memiliki potensi dinamis. Dilihat dari sifatnya terdiri dari Massa ekspresif
merupakan kelompok yang bersama-sama melepaskan tekanan jiwa dalam
kegiatan tertentu. Misalnya: Mimbar bebas,
arak-arakan (festival
budaya/keagamaan), unjuk rasa tanpa kekerasan, namun bila kelompok semakin
membesar dan dimanfaatkan maka dapat berubah menjadi massa aktif. Massa aktif merupakan
suatu kelompok yang cenderung
melaksanakan aksi/tindakan secara serentak. Secara bersama
melepaskan tekanan psikologis melalui tindakan tertentu. Umumnya kelompok ini berawal dari
kelompok tidak puas, muncul ide baru yang bertentangan dengan ide yang ada
diulang (clise) dan selanjutnya menunggu kesempat untuk menjadi aksi massa. Dilihat dari gerakannya terdiri dari : massa Progresif
(Target perubahan/pembaharuan,
biasanya bersifat radikal), Status quo (Berlawanan dengan kelompok progresif. Mempertahankan sikap / sistem
lama dan selalu konflik dengan gerakan progresif sampai salah satu
menjadi kalah/hancur), dan massa Reaksioner yang merupakan kelompok
untung-untungan atau mencari kesempatan,
fleksibel/oportunis yang penting tujuan kelompok berhasil. Menyerang sesuau yang telah lalu, yang
sedang terjadi saat ini, bahkan yang akan datang.
Setiap gerakan massa merupakan kompleksitas yang disebabkan oleh banyak variabel,
sehingga sulit untuk menduga atau memperhitungkan secara hipotetis frekuensi dan intensitas dari gerakan massa yang terjadi.
Diawali kondisi psikologi seperti adanya
frustrasi, konflik menyebabkan stress yang merupakan kondisi laten. Pada kondisi ini, kerumunan dapat
dipicu melalui suatu peristiwa di lingkungan yang menyebabkan terjadinya aksi
massa. Maraknya aksi massa
merepresentasikan kondisi emosianal laten yang ada pada masyarakat dan menggejala
dalam rasa tidak puas, marah, takut, kebencian serta perasaan negatif
lainnya. Konflik yang meledak
menjadi aksi massa seringkali
tidak ada kaitan dengan faktor pemicu.
Setelah massa bergerak di lapangan tujuan seringkali menjadi tidak penting. Hal yang lebih penting
adalah pada pelepasan tekanan kejiwaan melalui tindakan-tindakan yang sudah
tidak terkendali / brutal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh kelompok yang
memiliki tujuan lain.
Beberapa masalah sosial (sumber frutrasi), yaitu permasalahan sosial
yang dipandang sebagai Tragedi,
seperti
penyakit sosial, kenakalan
remaja; Ketidak adilan, seperti kesenjangan sosek, hak sosial, dan
kepastian hukum/perlindungan hukum; Ancaman, seperti narkoba, perusakan
lingkungan, kepadatan, peduduk,
sara, inflasi, dan
urbanisasi; Tindak kejahatan, seperti pembunuhan, perkosaan, main
hakim sendiri, dan pemerasan/malak; Campur
tangan, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, menulis, pers, dan
melakukan aktivitas tertentu; Kurang
peradaban, seperti birokrasi yang berbelit-belit, upah di bawah UMR,
KKN, kualitas media massa & pendidikan yang rendah.
Terjadinya
konflik sosial terjadi karena adanya objek / isue yang dipertentangkan jelas
solusi menang / kalah, kompromi, dsb.
Hal yang yang
dipertentangkan tersebut seringkali tidak memiliki latar belakang yang jelas. Objek
yang dipertentangkan tidak mencerminkan masalah pokok/utama. Penyebabnya
bersifat “intrinsik”, sepert harga diri, kecewa, sakit hati, dendam, rasa tidak
aman / terancam dsb. Konflik yang terjadi dibelakang aksi massa cenderung bersifat
autistik, yaitu tidak memiliki permasalahan yang jelas, melainkan tersirat
ketika sedang menjalankan aksinya.
Konflik yang di masyarakat secara vertikal
dampak dari sistem dan kebijakan contoh
pekerja vs pengusaha terkait dengan permasalahan UMR, limbah, dsb. Sedangkan konflik horizontal biasanya bersifat SARA. Konflik sosial juga dapat terjadi
karena terjadi kekosongan kekuasaan yang disebabkan antara
lain oleh kurang atau tidak
berwibawa Pemerintah atau aparat penegak hukum tidak berfungsi sesuai
dengan perannya masing-masing.
Persoalan dan Pemecahannya
Guna menunjang penanganan kamdagri secara antisipatif dan soft approach, maka pilihan pendekatan
psikologi massa cukup relevan untuk ditempuh dalam menangani konflik
sosial Untuk itulah beberapa
persoalan yang perlu dipecahkan antara lain : (1) Perilaku individual, perilaku massa dan perilaku sosial; (2) Pembentukan
kelompok massa; (3) Karakter perilaku massa (mengapa massa aktif melakukan berbagai tindakan kekerasan dalam demonstrasi); (4) Peran para
aktor (K/L/Pemda dan para tokoh, cara mengemukakan pendapat sesuai dengan
aturan yang berlaku, tata cara demonstrasi yang sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga
Demonstrasi tidak mengarah pada tindak. Pilihan solusi antisipatif berbasis soft power atau pendekatan hard power yang hanya relevan jika semua
pedekatan soft power mengalami
kegagalan,
Untuk dapat menggunakan pendekatan soft power perlu untuk memamhi pembentukan
kelompok massa, yaitu melalui suatu proses
psikologis, seperti : Imitasi merupakan prilaku meniru yang terjadi secara
lahiriah tanpa adanya suatu kritik tertentu terhadap hal-hal yang ditirunya,
contohnya masyarakat mengikuti menggunakan baju kotak-kotak berwarna untuk
megidentikkan dirinya dengan Jokowi yang pro perubahan bagi Jakarta; Empati merupakan suatu perasaan yang terjadi karena menyelami suatu situasi
atau keadaan secara mendalam, sehingga dapat menghayati seperti mengalaminya
sendiri, contohnya amarah masyarakat terhadap pelaku sopir penabrak orang-orang
di trotoir tugu tani yang berada dalam pengaruh narkoba sebagai wujud empati
terhadap para korban; Simpati merupakan bentuk dari perasaan, merasakan yang disertai oleh
pengertian dan pemahaman, sehingga biasanya diikuti oleh prilaku tertentu yang menunjukan
rasa simpatinya tersebut, contohnya tindakan menghimpun koin bagi yang seseorang
yang sedang diperkarakan oleh rumah sakit karena mengeluh tentang pelayanan
rumah sakit tersebut kepada temannya via email; juga Sugesti merupakan
suatu kondisi menerima suatu pandangan atau sikap tertentu tanpa adanya suatu
kritik, contohnya perilaku memborong dan menimbun BBM karena melihat
orang-orang lain melakukan hal yang sama sebagai akibat isu kenaikan harga BBM.
Pemahaman mendalam terhadap proses
ini diperlukan untuk mampu menangani perilaku massa yang dapat mengarah kepada
perilaku tindak kekerasan.
Psikologi massa
merupakan ilmu yang mempelajari dinamika perilaku massa,
dalam hal ini massa diartikan sebagai sekumpulan atau kerumunan manusia yang belum memiliki suatu ikatan apapun. Secara internal, terdapat kekuatan individu
untuk bergabung dengan suatu kelompok yang bersifat instinktif, reflektif,
asosiatif atau sugestif yang berpengaruh pada struktur dan dinamika massa. Struktur
massa merupakan kondisi fisik dan mental pelaku, serta homogenitas antara
lain meliputi usia, jenis kelamin, status sosial, dan suku. Sedangkan dinamika massa mencakup motivasi, intensitas dan kualitas dari
gerakannya. Disisi lain, secara eksternal, dukungan masyarakat, ketepatan waktu
(momentum), stimulus/rangsangan, seperti jumlah kelompok, juga turut akan
berpengaruh pada aktivitas (bervariasi dari yang tanpa kekerasan sampai dengan
kekerasan) dan sasaran, seperti politik, sosial dan ekonomi. Kedua faktor tersebut (eksternal maupun
internal) saling berinteraksi dalam proses terbentuknya massa, baik yang
bersifat spontan maupun
terorganisir.
Massa
biasanya terjadi spontan terjadi begitu saja, tidak berstruktur, terorganisir
dan terkoordinasi, terdiri dari sejumlah besar orang yang bertindak secara
serentak dan tidak terkait dalam kelompok tertentu. Mereka melakukan suatu hal
atau tindakan yang sama yang merupakan tindakan yang lebih bersifat individual
dan tidak ada kontak langsung
yang berkesinambungan.
Massa seperti ini dapat terjadi
dengan seketika dan bubar dengan
seketika, umumnya dipicu oleh suatu kejadian yang ada di lingkungannya yang memancing reaksi emosi yang sangat
kuat. Sedangkan massa terorganisir
memiliki ciri-ciri seperti homogenitas, memiliki tujuan / sasaran lebih
jelas, tindakan lebih terarah, memiliki jiwa korsa yang kuat, keyakinan lebih
tinggi, motivasi lebih konstan dan prinsipil, kontinuitas pada aksi-aksinya,
disertai disiplin lebih kuat dan lebih militan. Upaya untuk mempertinggi jiwa kelompok
melalui kontinuitas dari gerakannya,
kesamaan ide (dimana kepentingan yang
bersifat pribadi diredusir), rangsangan
psikologis, seperti janji- janji atas dasar kebutuhan nyata / objektif, diberikan slogan–simbol guna merangsang
sentimen kelompok, suku, agama dsb, serta terdapat diferensiasi spesialisasi dan fungsi dari
anggotanya.
Pembentukan massa mencakup 3 tahapan, yaitu tahap warming up, agresif dan vakum. Pada tahap warming up dilakukan upanya mengumpulkan individu/simpatisan dengan
memfokuskan emosi melalui yell-yell, slogan dan atribut lainnya yang dapat
membakar emosi massa. Pada tahap
agresif, kondisi emosi menigkat yang menimbulkan ketegangan, sehingga
membutuhkan penyaluran untuk melampiaskan rasa frustrasi, agresivitas dan sifat
destruktif. Selanjutnya akan
memasuki tahap vakum, yaitu telah terlampiaskannya emosi, terjadi kelelahan,
kesadaran individu muncul,
kehampaan, vakum, depresif dan merupakan fase kritis
Karakter
atau sifat-sifat massa dapat dipahami dari sejumlah fenomena berikut ini: (1) Kekuatan
anonim merupakan kekuatan
bukan penjumlahan tapi kompleksitas kekuatan fisik & psikis yang memiliki dinamika tersendiri dan sulit untuk
dikendalikan, ciri-cirinya: individual
menghilang, tanggung jawab moral individual bergeser pada kelompok; (2) Kolektivitas homogen, biasanya tanpa
direncanakan lebih dulu, didasari kepentingan emosional yang mendasari unsur
simpati, sugesti, dan jiwa kolektif; (3) Irasional,
bukan inteligensi objektif yang rasional tetapi inteligensi kolektif yang lebih
bersifat asosiatif dan instinktif, kurang rasional dan lebih mudah terbawa arus
sentiment; (4) Pengendalian diri
berkurang, dimana unsur rasio berkurang, kesadaran menurun ingin segera
bertindak dan sulit dikendalikan, serta berbuat sekehendaknya; (5) Tindakan primitif, artinya kemunduran
dalam bertindak (regresi ketingkat primitif) yang tampil dalam tindakan yang
bersifat agresif dan destruktif; (6) Sensitif
dan eksplosif, tampil dalam perilaku sangat emosional serta labil, rasa
takut hilang, mudah tersinggung, mudah
dipengaruhi tetapi juga sulit dikendalikan, impulsif, “pemuasan diri jadi faktor utama”,
mudah meledak (eksplosif) dan menyerang (ofensif); (7) Menular, merupakan dinamika sosial, mudah meniru dan ditiru serta
dimungkinkan pada waktu dan tempat yang berbeda; (8) Sugestibilitas atau mudah dipengaruhi, sehingga menyebabkan mudah
ditunggangi oleh kelompok lain yang lebih memperkeruh suasana.
Pelaku massa terdiri dari
pelaku aktif yang merupakan pelaku utama, pelaku ikut-ikutan sebagai simpati
dan ikut bergerak di lapangan, serta pelaku pasif sebagai simpatisan tapi tidak
ikut bergerak. Di luar itu terdapat kelompok netral yang tidak peduli dan hanya sebagai
penonton. Sedangkan pimpinan massa dapat dilihat dari sifatnya
bisa berupa ide
/ konsep (massa tak terorganisir) atau manusia (gerakan, memotivasi dan pengendali
massa). Dapat pula diilihat dari
fungsinya, yaitu pimpinan yang jadi otak
perencanaan, pimpinan yang
dapat menggerakan emosi (fase warming
up), dan pimpinan yang langsung mengendalikan
aksi massa (fase agresif). Faktor yang mendukung terjadinya perilaku
kolektif gerakan massa adalah :
(1) Propaganda. Suatu teknik
(cara,upaya) yang sistimatis dan direncanakan secara mendalam untuk
pengaruhi sikap / pendapat pihak
lain. Alat utama dalam propaganda adalah bahasa, yaitu mengaburkan pandangan
yang ditunjang bukti / fakta, sehingga dapat mempengaruhi emosi dn sekaligus
mengarah pada upaya memberikan
sugesti. Sementara itu,
pemikiran sebenarnya yang didasari pernyataan disembunyikan. Tujuan propaganada adalah mempengaruhi
pandangan hidup, keyakinan publik (meyakini isi propaganda)
dan tidak memberikan kesempatan pada publik untuk berpikir
panjang untuk membuat alternatif
/perbandingan terhadap pesan
propaganda; (2) Agitasi.
Pada dasarnya sama dengan
propaganda hanya dalam agitasi bentuknya sudah lebih mengarah pada tindakan menghasut / menganjurkan tanamkan kebencian kobarkan rasa
permusuhan. Hal yang seringkali dengan jalan kekerasam yang biasanya dilakukan
oleh organisasi politik yang bertujan menyerang kelemahan lawan pilitiknya; (3) Public opinion.
Pendapat umum yang diperoleh dari pertimbangan pikiran
(diskusi/perdebatan, talkshow dll) yang mengarah pada “keputusan” (pemahaman
bersama) tentang sesuatu hal. Oleh
karena itu, mampu menimbulkan
konsesi dan kompromi terhadap sikap-sikap yang bertentangan sehigga dapat
mengarahkan kelompok pada tindakan serempak untuk mencapai tujuan bersama; (4) Desas-desus /
(rumor). Berita/kabar angin yang tidak menentu dan tidak jelas,
serta kebenarannya sulit dibuktikan.
Penyebarannya bisa dilakukan melaui lisan, tulisan, secara disengaja
ataupun tidak disengaja. Dalam keadaan tertekan (situasi sosial
kritis/ labil) menyebabkan banyak orang menjadi takut dan curiga, sehingga
rumor menjadi cepat meluas/menyebar.
Dalam kondisi ini terjadi ketegangan emossional yang menyebabkan kelabilan pada inidividu,
sehingga daya kritiknya jadi menurun.
Rumor menjadi “suburu
karena adanya kebutuhan, harapan, keingintahuan, ketakutan diatasi dengan
ditambah cerita hayal, terutama bila sesuai dengan kepercayaan/keyakinan
individu setempat. Melalui rumor kebencian kembang jadi rasa permusuhan
dan bila tidak terkendali bisa menjadi tindakan agresif terhadap individu atau
kelompok lain. Pada masyarakat ataupun individu yang memiliki
informasi yang lengkap akan sulit terpengaruh; (5) Prasangka sosial. Sikap sosial negatif terhadap orang/kelompok lain seringkali diakibatkan rasa frustrasi, kepribadian yang kurang matang, sikap otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri, kurangnya rasa toleransi,
kurang mengintrospeksi diri, dan agresif. Prasangka umumnya
mengarah kepada hal-hal yang bersifat negatif sebagai akibat
kurangnya informasi, dan sering
dihubungkan dengan kelompok minoritas atau kelompok ethnik tertentu. Heterogenitas etnik menimbulkan issue kearah prasangka kultural, stereotip
dan sangat subjektif.
Memiliki corak menghambat,
merugikan, menghancurkan individu/kelompok lain melalui tindakan diskriminatif,
scape goating, terutama pada kelompok
yang tidak berdaya.
Mengapa massa aktif melakukan berbagai
tindakan kekerasan dalam demonstrasi?
Aksi massa merupakan
ekspresi gerakan kelompok yang sudah memiliki
tujuan (arah atau sasaran). Aksi massa biasanya digunakan sebagai alat
untuk mencapai
tujuan kelompok dengan arah
agresi dari “bawah” ke “atas”. Dalam konteks ini peran provokator bukan hanya sebagai figur dominan, dapat juga
berupa figur yang dianggap
memiliki kekuatan lebih besar
baik dari aspek sosial, ekonomi,
politik. Oleh karena
itu, aksi ini dapat digunakan sebagai pressure (kelompok
yang menekan), show of force, dan public opinion yang bersifat fisik. Beberapa faktor
yang terdapat pada perilaku kolektif : (1) Kondusifitas struktural (structural
conduciveness) merupakan struktur masyarakat yang dapat mendukung/menghalangi kelompok masyarakat tertentu;
(2) Ketegangan struktural
(structural
strain) perasaan-perasaan
kehilangan sesuatu (hak, keistimewaan dsb) pada kalangan atas berupa rasa ketidakadilan, hajat
hidup terancam, sedangkan pada kelas sosial bawah dapat menjadi faktor
munculnya ketegangan struktur pada
masyarakat.
Terjadinya pemunculan dan penyebaran pandangan disebabkan adanya
persepsi yang sama tentang sumber ancaman, jalan keluar dan pencapaian jalan
keluar dalam mengatasi suatu permasalahan. Faktor pencetus/mempercepat (precipitating factors) seperti teriakan, orang yang lari tiba-tiba
dsb. dapat mengawali timbulnya kericuhan pada masyarakat/kerumunan yang sudah
memiliki tingkat ketegangan yang tinggi.
Terjadinya mobilisasi
tindakan, umumnya disebabkan dengan adanya pimpinan di lapangan yang
mulai memberikan stimulasi dan
mengarahkan kerumunan untuk bergerak menuju sasaran.
Pilihan solusi antisipatif berbasis soft power.
Untuk dapat menggunakan solusi berbasis soft power diperlukan
analisa yang mendalam terhadap kegiatan massa, misalnya mempelajari fenomena,
melihat sifat kerusakan, cara, kelompok yang bergabung, simpatisan, tempat, rute,
dan situasi yang mempercepat.
Selanjutnya dianalisis pula reaksi sosial terhadap perkembangan situasi
tersebut, dengan mempelajari opini yang berkembang di masyarakat, berita di
mass media, press release, reaksi dari objek/sasaran. Informasi yang detail, akurat dan komprehensif ini perlu disintesakan,
misalnya melalui kulster genotype (politik, agama, seosial ekonomi, budaya),
media (sabotase, intimidasi, provokasi, kudeta, dll), pelaku yang terdiri dari
pelaku/penggerak, pelaksana inti, pendukung, simpatisan, kelompok anti dan
netral. Hipotesa sebagai estimasi
landasan untuk menentukan langkah selanjutnya
Penanggulangan massa dengan bentuk preventif, dilakukan melalui pendekatan
persuasif terhadap pihak bertikai, pencerahan kepada masyarakat untuk
meningkatkan tanggung jawab sosial, menghilangkan sumber sterss di masyarakat,
dan melaksanakan pengawasan intensif seperti mewaspadai penumpukan massa. Bila dalam intensitas masih rendah bisa gunakan orang orang yang punya otoritas
untuk meredam agresifitas massa. Tindakan represif diperlukan pada saat intensitas meningkat dimana massa mulai bertindak brutal
disertai tindakan yang anarkis biasanya dilakukan tindakan yang sifatnya
represif dengan tujuan
menghentikan gerakan, memisahkan massa dengan sasaran (block / lokalisir
/pecahkan /kanalisasi), dan memunculkan kembali kesadaran individu. Di beberapa negara untuk menghadapi massa yang
sudah histeris / brutal dan melakukan
tindakan - tindakan anarkis, maka aparat keamanan memberikan kekuatan yang “setara” berupa “kejutan” (rasa sakit, takut dsb) untuk mengembalikan kesadaran individu, misalnya menggunakan peluru karet, gas air mata, kanon
air dsb. Tindakan ini dilaksanakan
dengan sangat selektif karena dianggap oleh sebagian besar masyarakat saat
ini sebagai
pelanggaran Ham, namun dilain pihak cara penanganan yang tidak tuntas akan
memprovokasi massa (semakin militan).
Pendekatan hard power hanya relevan
jika semua pedekatan soft power mengalami kegagalan. Peran para aktor (K/L/Pemda dan para tokoh, dalam
mensosialisasikan cara mengemukakan pendapat sesuai dengan aturan yang berlaku,
tata cara demonstrasi yang sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga perilaku
massa tidak mengarah pada tindak kekerasan/destruktif.
Penutup.
Solusi menangani kekerasan massa melalui
pendekatan psikologi massa dapat digunakan sebagai salah satu pilihan dalam
mendukung keamanan dalam negeri.
Dengan data yang lengkap, akurat dan komprehensif dapat digunakan solusi berbasis soft power yang efektif dan menuntaskan permasalah karena menyentuh
pada inti permasalahan serta tidak meninggalkan trauma di masyarakat. Sedangkan Pendekatan hard power merupakan jalan terakhir jika
semua pedekatan soft power gagal, karena melalui pendekatan ini akan
meninggalkan banyak dampak negatif di masyarakat.
Demikian pokok pokok pikiran tentang
alternatif solusi menangani kekerasan massa ditinjau dari perspektif psikologi
massa guna menunjang keamanan dalam negeri, semoga dapat menjadi kontribusi
bagi pimpinan dan pihak-pihak yang memiliki akses dalam pengambilan keputusan
untuk menangani kekerasan massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar