Sabtu, 13 September 2014

Antisipasi dan Solusi Terhadap Terjadinya Krisis Integritas Anak Bangsa Indonesia Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional

LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kemajukan mencapai 75 % , antara lain tergambar  luas wilayah 5,8 juta km per segi dan panjang garis pantai 95.181 km yang memiliki 17.504 pulau. Rakyat  yang multikultur berjumlah 251 juta orang terbagi dalam 365 suku bangsa yang memiliki keunikan  dalam bahasa daerah dan  budaya.  Sebagai negara yang berdaulat, NKRI membutuhkan Ketahanan Nasional (Hannas) guna menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan berbagai krisis.  Upaya dasar untuk mewujudkan Hannas yang kokoh tersebut adalah intergritas sebagai jati diri dari setiap anak bangsa. Integritas sebagai jati diri bangsa merupakan kekhasan yang dimiliki suatu bangsa yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia.  Demikian pula dengan kesadaran berbangsa menjadi keharusan dimiliki oleh setiap warganya agar memililki rasa memiliki (sense of belonging) dan sekaligus sebagai daya tangkal terhadap pengaruh negatif dari negara lain atau pihak manapun.  
Banyak yang mengenal dan mengatakan, terutama orang asing, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, rendah hati, kreatif, sabar, hangat dan toleran. Benarkah demikian ? Bila tidak, apa yang membuat bangsa ini berubah? Sebagaimana kita ketahui perilaku adalah hasil interaksi antara pribadi dan lingkungan. Sebagaimana pada interaksi lain, ketika salah satu dari yang berinteraksi buruk, maka tidak mungkin hasilnya akan baik. Begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, lingkungan yang buruk akan menghasilkan perilaku yang sama buruknya atau akan bisa mengubah pribadi yang baik menjadi kurang baik.  Pengaruh lingkungan strategis sebagai dampak perkembangan di lingkungan global, regional dan nasional berdampak pada perubahan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.  Pengaruh tersebut selain memberikan dampak positif banyak pula yang bersifat negatif dan tidak sesuai dengan jati diri (integritas) bangsa kita.  Apakah telah begitu banyaknya individu yang kurang bahkan tidak memiliki integritas di Negeri ini?  Jelas situasi dan kondisi seperti ini tentunya dapat juga berpengaruh kepada kehidupan kita dan keluarga, sehingga jika tidak diantispasi bukan tidak mungkin akan berdampak negatif pula dan meluas di seluruh lapisan masyarakat. 
.
PEMAHAMAN INTEGRITAS
Integritas merupakan dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena menjadi faktor yang mempengaruhi proses pencapaian keberhasilan yang ingin diraih. Integritas selalu mencakup adanya konsistensi atau keteguhan hati yang terkait dengan nilai-nilai moral, prinsip-prinsip dan etika.  Dalam banyak bahasan integritas senantiasa  dikaitkan  dalam perilaku jujur, transparan, adil, bertanggung jawab, berkomitmen, berdisiplin dan menjunjung tinggi harkat manusiawi. Integritas merupakan hal yang sangat mendasar dan sebagai fondasi, tampak seperti ungkapan “Tanpa integritas, motivasi menjadi berbahaya; Tanpa motivasi,  kapasitas menjadi tak berdaya; Tanpa kapasitas, pemahaman menjadi terbatas; Tanpa pemahaman, pengetahuan tidak artinya; Tanpa pengetahuan, pengalaman menjadi tidak bermakna”. Dari ungkapan tersebut jelas bahwa untuk membangun jati diri aspek integritas merupakan fondasi baru selanjutnya aspek motivasi, kapasitas, pemahaman, dimiliki pengetahuan, dan pengalaman.   Oleh karenanya,  integritas yang kuat perlu dimiliki oleh setiap anak bangsa.
1. Fondasi Dasar.   Integritas dapat ditampilkan bila terdapat moral compass (sekumpulan nilai dan prinsip yang dianut) dan  inner drives yang merupakan dorongan untuk hidup sesuai dengan nilai dan prinsip tersebut. Keseimbangan dua aspek ini perlu terjaga, karena jika inner drives yang lebih besar seringkali membuat seseorang bertindak egois dan tidak sesuai dengan integritasnya.  Bagi setiap anak bangsa, wawasan kebangsaan, etika ketimuran, kearifan lokal dan nilai-nilai lainnya merupakan moral compass yang mengatur bagaimana seharusnya mereka bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Keaslian.  Integritas juga dipandang sebagai suatu keaslian. Seseorang yang bertindak asli seperti apa dirinya yang sebenarnya. Bukan tingkah laku dibuat-buat yang  tidak mencerminkan jati dirinya. Menjadi diri sendiri dan bangga dengan kemampuan serta menerima kekurangannya telah bersatu dalam suatu bentuk integritas.  Jika seseorang mau memiliki Integritas, maka ia terlebih dahulu harus memenuhi kebutuhan akan harga dirinya. Bukan menggunakan persepsi orang lain dan mengelabuinya agar merasa diri berharga karena ingin dinilai berhasil, namun dirinya sendirilah yang menjadi  hakim yang menentukannya. Bagaimana agar seseorang  bisa menjadi lebih baik dan menemukan integritasnya? Hal  pertama yang harus dilakukannya adalah menyadari dan menerima kekurangannya serta menyatakannya dengan “lantang”.   Kejujuran di awal ini akan membuatnya lebih bisa dan terbiasa untuk bersikap jujur secara konsisten, sehingga kata-katanya akan senantiasa sesuai dengan tindakannya (satu kata dengan perbuatan).
3. Fungsi Integritas  Pertanyaan berikutnya adalah apa fungsi integritas? Terdapat dua kategori fungsi integritas, seperti  Cognitive Function of Integrity (CFI), yang meliputi  moral Intelligence (kecerdasan moral) dan self-knowledge (pengetahuan mengenai apa yang benar dan apa yang salah).  Seseorang yang memiliki CFI baik akan dapat mengintrospeksi dirinya. Tanpa pengenalan diri yang baik, tentunya akan sulit untuk menilai diri sendiri.   Selain CFI  juga terdapat fungsi yang lain, yaitu Affective Function (AF). Dalam AF terdapat dua kategori, yaitu Conscience dan Self Regard. Consicence dapat diartikan sebagai hati nurani yang berfungsi sebagai “hakim” apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan perilaku integritas. Conscience tidak hanya berfungsi sebagai hakim yang menghakimi perilaku yang telah terjadi, namun juga pada perilaku-perilaku yang belum dilakukan.   Sedangkan Self-Regard adalah perasaan positif tentang apa yang dimiliki dan tidak dimiliki. Seorang prajurit yang merasa dirinya negatif akan melebih-lebihkan dirinya sendiri atau membuat banyak alasan agar dianggap tetap wajar, meskipun sebenarnya tidak menyelesaikan kewajibannya.
4. Kompetensi Integritas.   Berikut tentang kompetensi yang dapat membentuk Integritas jati diri anak  bangsa.
a.   Motivasi diri.  Suatu dorongan dari dalam diri dan energi untuk menetapkan suatu tujuan serta bekerja keras untuk mencapainya, dalam rangka memenuhi komitmen dan untuk memelihara atau bahkan melebihi standar kinerja (melebihi dari panggilan tugasnya).
b.   Keberanian dan ketegasan moral.  Keberanian untuk bertindak dan membela apa diyakininya dan untuk menunjukkan prinsip serta nilai-nilai dirinya kepada lingkungan sosialnya, termasuk keberanian merefleksikan dirinya untuk menerima umpan balik.
c.   Kejujuran.  Kejujuran pada diri sendiri maupun terhadap orang lain mengenai niat  dan kapasitas yang dimilikinya, misalnya dengan mengatakan apa yang sebenarnya, dimanifestasikan secara transaparan melalui komunikasi terbuka dan berbagi informasi secara proaktif.
d.   Konsistensi.  Konsisten dalam mengaplikasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam kehidupannya di semua situasi, baik pada kehidupan pekerjaan maupun  pribadi.
e.   Komitmen.  Ketekunan untuk mencapai apa yang telah menjadi komitmen sebagai prajurit untuk dilaksanakan sebagai tugas, tanggung jawab dan kewajibannya. Apakah itu bersifat publik (berkomitmen kepada orang lain/organisasi) atau komitmen pribadi (berkomitmen untuk diri sendiri), meskipun menghadapi keadaan sulit dan menantang.
f.    Ketekunan.  Diekspresikan dalam bentuk sikap rajin bekerja dan ketekunan dalam berupaya yang telah merupakan karakternya.
g.   Disiplin diri.  Disiplin untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip serta untuk mencapai apa yang telah ditetapkan untuk dilakukan.  Disiplin berfungsi sebagai kendali batas-batas moral seseorang, dalam aturan  dan prinsip-prinsip yang telah disepakati, serta berkomitmen kepada diri sendirinya maupun orang lain.
h.   Tanggung jawab.  Menerima tanggung jawab untuk suatu tujuan dan aspirasi sesuai  kekuatan dan keterbatasan yang dimilikinya, dan merupakan pilihan yang memiliki konsekuesnsi terhadap suatu sanksi tertentu.
i.     Kepercayaan.  Ditampilkan dalam bentuk reputasi untuk memegang teguh janji, komitmen dan tanggung jawab, sehingga orang lain dapat mempercayainya sebagai seorang prahurit yang melakukan apa yang dikatakannya.
j.     Keadilan.  Keadilan, pemerataan dan tidak ada bias dalam pengambilan keputusan, terutama dalam pengambilan keputusan yang melibatkan dan berdampak pada orang lain/anggota.

PENGARUH LINGKUNGAN
Perkembangan di lingkungan global, regional dan nasional berdampak pada perubahan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Selain memberikan dampak positif banyak pula yang bersifat negatif yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita.   Dari sisi perdagangan, banyak sekali barang-barang yang diimpot ke Negeri ini, bahkan sekaligus juga mengimport budaya asing yang seringkali tidak sesuai dengan budaya bangsa, contoh budaya Amerika dan Korea. Konsep integritas anak bangsa yang ada pada saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh budaya universal dibandingkan dari dalam budaya Indonesia itu sendiri.  Hal itu, menyebabkan implementasi integritas di Indonesia seringkali menemui kendala karena benturan dengan budaya Indonesia.   Begitu banyak remaja dan anak-anak,  bahkan mungkin orang dewasa dan tua yang mengadopsi nilai dan gaya hidup dari negara-negara tersebut.  Seperti apa yang kita amati dan rasakan, belakangan ini nilai hedonisme berkembang semakin pesat yang memberikan ukuran kesenangan (pleasure principles) sebagai segala-galanya, dan memicu terbentuknya nilai-nilai materialistis. Hal ini juga diperkuat oleh provokasi berbagai media masa yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. 
Pada saat ini  banyak orang yang lebih mementingkan diri sendiri (ego sektoral) dibandingkan dengan kepentingan umum yang lebih besar. Nilai yang dianut adalah kekayaan dan kekuasaan adalah segala-galanya.  Terjadi peningkatan sifat egoisme yang sangat tinggi pada banyak orang, yaitu kepentingan diri melebihi kepentingan apapun. Dalam teori A Maslow. Kebutuhan seperti ini merupakan kebutuhan tingkat dasar (Basic Need). Ironisnya hal ini terjadi pada masyarakat luas, dan bahkan banyak diantara mereka  yang mempunyai posisi jabatan yang tinggi dan orang-orang yang memiliki kekayaan berlimpah.  Jika mindset  seperti ini ada pada diri seseorang tentunya akan memberikan pengaruh negatif pada dirinya.  Di dalam organisasi, ia akan merusak, di jalan raya ugal-ugalan dan menyebabkan kesemrawutan, saat melakukan  berdemonstrasi akan anarkis, dll. Tidak ada lagi ada perasaan malu dan tampak memiliki potensi emosi yang bersifat negatif dan sangat gampang “meledak”. 
Beberapa sumber pengaruh negatif “SERANGAN”  6 mungkin juga merupakan perang psikologi dari pihak-pihak berkepentingan yang patut diwaspadai adalah sebagai berikut :

F 1 – FOOD.  Wisata kuliner sangat berkembang khususnya di kota-kota besar, seperti jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Seiring dengan itu juga berkembanganya tawaran makanan ala “barat”, dan nyaris outlet-outlet  ala barat tersebut padat dengan berkunjung.  Masyarakat  sangat menggemari fast food, yang di negaranya sendiri disebut sebagai junk food (baca: makanan sampah)   Sampah koq dimakan dan digemari yaa? Penawaran makanan dan menu ini sarat dengan nuansa bisnis semata, dan kurang memperhatikan aspek kalori dan kesehatan.  Akhirnya  kita terjebak dan tergantung pada makanan yang kurang, bahkan dapat dikatakan tidak berkualitas.  Sementara itu bukankah kebutuhan hidup sehat mempersyaratkan makanan yang sehat. Belum lagi jika melihat dari segi nilai-nilai yang lebih mendalam, bagaimana jadinya jika kita sudah tidak menggemari makanan khas daerah dari negeri sendiri.
F 2 – FASHION.   Baju tradisional sudah banyak ditinggalkan, bahkan anak dan remaja kita banyak yang tidak mengenali lagi pakaian-pakaian khas daerah.  Kembali lagi pakaian dari budaya luar yang sangat populer dan digemari.  Alasan pembernarannya, modis, lebih simpel dan praktis.  Untuk penganut agama Islam yang terbesar di negeri ini, banyak telah melanggar kaidah-kaidah norma berbusana jelas, khusunya untuk pakaian wanita karena banyak disobek disana-sini, sementara bagian bawah semakin ke atas dan bagian atas semakin ke bawah.  Banyak dari masyarakat yang lebih menyenangi produk pakaian bergaya luar dibandingkan dengan khas Indonesia, tersirat di dalamnya emosi positif pada produk luar dan emosi negatif pada produk dalam negeri.
F 3 – FUN.  Sesuatu yang bersifat lucu atau hiburan bersumber pada kreativitas yang merupakan hal yang tidak biasa. Apa sebenarnya yang ditawarkan? Dalam lawak yang berkembang sering kita melihat pria yang meniru gaya kewanitaan, dari perlaku maupun kostum yang digunakan.  Bahkan dalam persepsi tertentu sudah ada yang bernuansa pelecehan.  Belum lagi kelakar yang disampaikan terkadang sangat furgar, dan kita menjadi tertawa saat menyaksikannya (baca : menyetujui).  Seorang individu memulai pembelajaran dari meniru, sehingga panutan dan keteladanan sangat diperlukan. Jika panutan dan keteladanan yang tidak baik, maka hasil tersebut juga yang menjadi nilai dirinya.
F 4 – FILM.  Kalimat yang sering saya ucapkan saat memberikan pelatihan adalah “hampir pada setiap film Amerika kita melihat bendera Amerika, sementara itu hampir pada setiap Film lokal kita senantiasa melihat pocong, hantu, kuntianak dan kawan-kawannya”.  Pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan?  Belum lagi tontonan yang mengarah pada seksualitas dan agresifitas.  Alasan pembenaran yang sering kita dengan adalah mengikuti “tuntutan skenario” ataupun keinginan pasar.  Film maupun tontonan di telivisi juga dapat meng”hipnotis” masyarakat untuk selalu menonton, dan sekaligus menyerap nilai-nilai yang disampaikan dan memasukannya ke alam bawah sadar sekaligus mempengaruhi kondisi psikologinya.
F 5 -  FANTASI.  Dunia fantasipun sudah lama ada di negeri ini.  Setiap warga masyarakat akan merasa “tertinggal” kalau belum pernah mencoba segala macam permainan yang ditawarkan dengan harga yang tidak murah.  Pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas dengan hal yang bersifat seperti ini, sehingga kreativitas mengembangkan tantangan barupun dibuat. Pada tempat lain tawaran fantasi dengan permainan keberuntungan (gambling)  yang dapat memperoleh hadiah menggiurkan, sehingga masyarakat diajak untuk berfantasi  menjadi kaya secara instan.  Masyarakat dapat menjadi hanyut dalam nilai-nilai hedonisme, dan ingin dapat memperoleh keuntungan dengan cara-cara instan.

F 6 -  FILOSOFI.   5 F terdahulu secara bertahap dan berlanjut, lambat tetapi pasti mulai menggrogoti nilai-nilai dan jati diri anak bangsa.  Akhir-akhir ini mulai banyak sekali pembahasan tentang Pancasila. Upaya tersebut tentunya perlu diarahkan kepada penyebab utamanya yang sehari-hari selama bertahun-tahun menanamkan doktrin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.  jika nilai dan jati diri (integritas) anak bangsa sudah keropos tentunya tinggal menunggu kehancurannya saja.
Tentunya masih banyak “F” lainnya, namun dengan 6 F tersebut saja sudah membuat keprihatinan yang mendalam, karena jelas-jelas memberikan nilai yang dapat merubah sikap dan prilaku kearah hal-hal yang bersifat negatif.  Pertanyaannya adalah bagaimana dengan integritas anak bangsa negeri saat ini dan bagaimana upaya yang perlu dilakukan.
PEMBINAAN INTEGRITAS DI LINGKUGAN TNI ANGKATAN DARAT
Berikut sekilas tentang pembinaan integitas di lingkungan TNI AD yang dapat dijadikan sebagai pembanding dalam mencari opsi solusi pembinaan integritas.  Dalam suatu diskusi ilmiah di Dispsiad bersama dengan narasumber DR.Wisnubrata & Prof Frans Mardi (2007) dirumuskan tentang integritas prajurit yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Bukan sekedar mampu menjalankan perintah, tetapi mampu memahami makna dari perintah itu (Kompetensi motivasi diri, tanggung jawab, dan kepercayaan).
2. Bukan sekedar menguasai ilmu dan teknik kemiliteran, tetapi juga mampu menggunakannya dengan arif dan penuh kepedulian (Kompetensi keadilan, tanggung jawab, keberanian dan ketegasan moral).
3. Bukan sekedar mampu menjadi anggota militer yang profesional, tetapi juga mau bersiap diri untuk hidup dan bekerja di lingkungan masyarakat sipil (Kompetesi konsistensi dan komitmen).
4. Bukan hanya terampil secara fisik, tetapi juga mampu bertindak dengan cerdas dan arif. ( Kompetensi kejujuran dan  keadilan).
5. Bukan hanya memiliki semangat kor yang kuat, tetapi juga menyadari bahwa dirinya juga warga masyarakat luas yang biasa (Kompetensi komitmen, tanggung jawab, dan kepercayaan).
6. Melihat senjata bukan hanya sebagai alat pemusnah belaka, tetapi juga memandangnya sebagai cerminan rasa tanggung jawab yang besar (Kompetensi  tanggung jawab dan disiplin diri). 
7. Bukan melihat dirinya sebagai bagian dari sekelompok orang yang memiliki hak-hak istimewa, tetapi justru merasa dirinya sebagai warga masyarakat biasa dengan tanggung jawab istimewa (Kompetensi ketekunan, keadilan, tanggung jawab, keberanian dan ketegasan moral).
Apakah karakteristik ini telah mencakup dan meliputi seluruh kompetensi integritas yang meliputi kompetensi integritas ? Jika kita mencoba mengkorelasikannya, maka sangat jelas bahwa karakteristi tersebut meliputi kompetensi integritas sebagai jati diri prajurit.  Selanjutnya, setelah karakteristik ini dapat diterima dan disepakati, maka tujuan dan arah pendidikan untuk pengembangan akan semakin jelas, yaitu selain membekali dengan kompetensi teknis dan institusional, juga menanamkan nilai-nilai dan prinsip sesuai karakteristik tersebut sebagai moral compass.  Untuk itu diperlukan upaya terpadu dan bersifat holistik yang dimulai penyiapan, pengembangan, pemeliharaan dan perawatan integritas diri prajurit. 
Dalam penyiapan calon prajurit telah dapat dirumuskan kriteria yang jelas tentang kompetensi integritas minimal yang harus dimiliki.   Diyakini bahwa pembentukan integritas perlu dilakukan sejak dini, bahkan ada yang mengatakan sejak di dalam kandungan.  Pembentukan karakter pertama kali dialami oleh seseorang, yaitu saat pengasuhan awal dalam keluarga, jadi role model pertama dalam pembentukan integritas adalah para orangtua dan dilanjutkan melalui proses pendidikan-pendidikan formal dan informal.  
Penyiapan calon prajurit dilakukan melalu proses rekrutmen yang cukup panjang. Dalam seleksi yang dilaksanakan secara kholistik dengan melibatkan multi disiplin ilmu, yaitu : Aspek Mental Ideologi, Akademis, Kesehatan, Kebugaran Jasmani, dan psikologi.  Pendalaman mental ideologi memiliki kemiripan dan psikologi, yaitu mengelaborasi latar belakang keluarga dan kehidupan calon karena hal ini dianggap sangat penting untuk mengantisipasi apakah seorang calon masih berpeluang untuk dikembangkan menjadi prajurit yang handal.  Sedangan pendekatan psikologi dilakukan melalui pemeriksaan psikologi (paper & pencil test), psikologi lapangan, wawancara dan observasi untuk memprediksi sebesar apa peluang pengembangan yang dapat dilakukan dari calon tersebut.  Kedua pendekatan ini paling tidak saling melengkapi untuk memahami kondisi mental psikologi calon termasuk juga keterkaitannya dengan aspek spiritual dan budaya.  Secara umum rumusan calon yang memiliki peluang sebagai pemenang, yaitu Taughness (kekokohan) dalam menghadapi berbagai permasalahan, Resilience (ketahanan) untuk segera bangkit kembali setelah mengalami sesuatu kegagalan, dan Flexibility (fleksibilitas) menggunakan berbagai cara dalam mengatasi suatu permasalahan.  Adapun ciri-ciri yang ditampilkan dalam bentuk prilaku seperti sejauhmana mereka telah berupaya semaksimal mungkin berkontribusi secara positif di lingkungannya, kemampuan mengelola emosi secara efektif, konsistensi dalam berbuat sesuatu kebaikan.
Keputusan lulus dan lolos dalam seleksi merupakan kesepakatan dari berbagai disiplin ilmu tersebut dalam suatu sidang Pantuhir (Panitia Penentu Akhir) sesuai kriteria yang berlaku.  Dalam hal ini keseimbang seorang individu merupakan persyaratan yang sangat mendukung dalam proses pembinaan selanjutnya. Selesai proses seleksi ini dan para calon prajurit yang dinyatakan memenuhi persyaratan, maka akan mengikuti pendidikan pembentukan militer dasar yang keras dalam rangka pengembangan dari potensi dan kompetensi yang telah dimiliki sebelumnya. Ada suatu premis yang menarik mengatakan bahwa “orang menjadi baik itu harus dipaksa, munculnya kepatuhan harus dipaksa dengan dibentuknya sistem yang baik.”  Oleh karena itu, untuk menghasilkan manusia berintegritas sistem dan lingkunganpun perlu diberikan perhatian khusus.  Bagaimana lembaga pendidikan mengembangkannya? Perlu menanamkan doktrin secara tepat karena akan menjadi moral compass bagi calon prajurit yang bersangkutan. Prinsip tripola dasar dalam pendidikan merupakan pendekatan keseimbangan yang serasi, namun perlu disepakati tujuan yang ingin dicapai terkait dengan integritas (jati diri) prajurit.  Gadik (Tenaga Pendidik) dan Gapendik (tenaga Pendukung Pendidikan) memiliki andil yang besar, sehingga perlu memahami tujuan pembentukan prajurit. 
Pada saat seseorang telah meliwati masa pembentukan sebagai prajurit dan dinyatakan lulus, maka upaya pengembangan integritas tentunya tidak boleh terhenti. Tahapan selanjutnya merupakan tahapan pemeliharaan dan perawatan. Di satuan, bagaimana upaya Pimpinan mengembangkannya ? Menjadi model, dan juga dapat memberikan bimbingan serta konseling. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut setiap pimpinan perlu memahami bahwa sesungguhnya setiap manusia akan bertindak sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. 
Secara bertahap, bertingkat dan berlanjut, unsur  pimpinan senantiasa memelihara dan  merawat pengembangan integritas prajuritnya. Antara lain dilakukan melalui inspirasi (jam komandan/pimpinan) dan memotivasi prajuritnya agar tergugah selalu memelihara dan mengembangkan integritasnya.  Di Satuan, senantiasa dilakukan upaya untuk memfasilitasi seperti apa yang telah didapatkan setiap prajurit dalam lembaga pendidikan.  Setiap prajurit diingatkan dan dikendalikan agar tetap waspada dalam memilih dan memilah konsumsi bagi mata dan telinganya. Artinya perlu selektif terhadap apa yang dilihat, dibaca dan ditonton, juga selektif dalam mendengar, karena semua ini dapat menstimulasi mereka dalam bersikap dan berprilaku
Kondisi psikologi yang prima, termasuk integritas akan mendukung tertanam dan berkembangnya nilai-nilai luhur pada setiap diri prajurit.   Pendekatan psikologi dimulai dari menyiapkan, mengembangkan, dan memelihara serta merawat (SIAPBANGHARWAT) kondisi integritas prajurit pada hakekatnya bukan menjadi hanya menjadi tanggung jawab satu institusi yang terkait langsung, seperti Dispsiad.  Namun terdapat institusi/pihak lain yang memiliki keterkaitan, seperti  kesehatan  jasmani, dan bidang personel, bahkan setiap unsur pimpinan (Perwira) juga memperhatikan baik keseimbangan dirinya maupun prajuritnya. Dikatakan demikian karena kondisi psikologi, termasuk integritas merupakan muara dari berbagai kondisi lainnya, seperti kondisi kesehatan, jasmani,  spiritual, dan kesejahteraan mereka.

PENUTUP
Setiap anak bangsa perlu memiliki integritas yang kokoh agar dapat menampilkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tatanan aturan dan hukum serta etika yang berlaku.  Tanpa integritas yang kokoh akan menstimulasi individu berupaya untuk berada pada comfort zone (zona nyaman) dan mempertahankannya dengan segala macam cara.  Mereka tidak siap menghadapi pengaruh dari tantangan, kendala dan permasalahan, serta menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terus terjadi.   Selanjutnya bagaimana integritas dapat dikembangkan untuk mdndukung Ketahanan Nasional ?  Diperlukan upaya paripurna dari segenap komponen bangsa dan muslti disiplin ilmu untuk pertama menyepakati konsep integritas sebagai jati diri anak bangsa, dan selanjutnya upaya pembinaan yang dilakukan dimulai dari penyiapan, pengembangan, pemeliharaan dan perawatan.
Demikian tulisan “Antisipasi dan Solusi Terhadap Terjadinya Krisis Integritas Anak Bangsa  Indonesia Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional”  disusun sebagai upaya dan tanggung jawab moral guna mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kepustakaan
1           Al-Mishi Mahmud (2009), “Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW”
2           Barnard Antoni dkk., “A Conceptual Framework of Integrity”
3           Cloud Henry (2007), “Integritas”
4           Dinas Psikologi TNI AD, Seminar Nasional (2014) tentang Integritas Manusia Indonesia”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar